Monday, August 17, 2015

Meneguhkan Islam Nusantara


Oleh: Zuhairi Misrawi

foto: wikipwdia
Islam Nusantara bertujuan untuk mengingatkan kembali pentingnya moderasi dan toleransi dalam Islam. Namun, pada saat yang sama Islam Nusantara harus mampu mewarnai dunia sehingga Islam tidak selalu diidentikkan kekerasan dan terorisme. Semoga muktamar NU kali ini dapat melahirkan pemikiran yang genuine untuk proliferasi Islam Nusantara di negeri ini dan dunia. 

Muktamar Nahdlatul Ulama yang akan digelar 1-5 Agustus di Jombang, Jawa Timur, mengangkat tema "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia". Tema ini diangkat dalam rangka meneguhkan posisi NU sebagai ormas Islam yang menjunjung tinggi moderasi dan toleransi dalam rangka memperkukuh solidaritas keindonesiaan dan kemanusiaan universal.

Tema ini jadi sangat penting karena dua hal. Pertama, konteks global. Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) jadi momok global yang makin menakutkan. Di tengah protes keras dunia terhadap NIIS, mereka tidak menyusutkan aksi brutalnya. Bulan Ramadhan yang hakikatnya suci dan mulia justru digunakan NIIS untuk menebarkan teror di Kuwait, Tunisia, dan Mesir.

Bahkan, saat takbir Idul Fitri berkumandang sebagai simbol kemenangan dan kebahagiaan, NIIS justru terus melancarkan aksi untuk membunuh warga sipil di Irak. Hari suci nan bahagia disulap oleh NIIS menjadi hari kelabu nan nestapa dengan membunuh sesama Muslim yang merayakan kebahagiaan Idul Fitri.

Konteks global ini harus jadi keprihatinan bersama karena Islam sebagai agama rahmatan lil alamin telah dicemarkan sedemikian rupa oleh NIIS, dan kelompok ekstrem lain, dengan menampilkan wajah Islam yang beringas dan menyeramkan. Mereka menganggap hanya paham dan kelompok mereka yang paling benar, sedangkan paham dan kelompok lain dianggap sesat dan kafir sekalipun sesama Muslim. Kelompok ini kemudian dikenal dengan al-takfiriyyun.

Kedua, konteks nasional. Harus diakui konteks global tersebut juga menjalar ke ruang republik. Secara ideologis dan teologis, paradigma "Negara Islam" bukanlah hal yang baru dalam perjalanan sejarah republik. Mereka yang mengamini ideologi tersebut sudah tumbuh benih-benihnya sejak lama dan terus berkembang meskipun secara sembunyi-sembunyi.

Dalam era internet yang kian memudahkan seseorang dan kelompok menyebarluaskan ideologi "Negara Islam", sudah hampir dipastikan ideologi ini akan terus membahana di jagat republik ini. Faktanya, mereka relatif berhasil memasarkan ideologi "Negara Islam" sehingga mampu merekrut para remaja yang belum mempunyai pemahaman keislaman yang kokoh, sebagaimana layaknya kalangan pesantren.
                   
Kedua konteks tersebut cukup menjadi alasan kuat bagi NU agar mencari terobosan untuk menegaskan identitas keislaman yang dapat memberikan harapan bagi Indonesia dan dunia.

Islam Arab

Tak bisa dimungkiri Islam agama yang lahir di Arab dan kitab sucinya berbahasa Arab. Bahkan, kitab klasik yang diajarkan di pesantren umumnya berbahasa Arab. Di dalam tradisi NU, salah satu ukuran untuk disebut sebagai ulama adalah apabila ia menguasai bahasa Arab dengan baik.

Namun, bukan berarti kita harus menelan mentah-mentah seluruh wacana yang bersumber dari Arab, khususnya wacana kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Ibarat lautan yang sangat luas, Arab juga menyimpan sejarah dan realitas kekinian yang kelam.

Menurut Marwan Muasher dalam The Second Arab Awakening and the Battle for Pluralism, kegagalan dunia Arab dalam melakukan perubahan lebih disebabkan oleh menguatnya anasir-anasir ekstremisme dan melemahnya anasir-anasir pluralisme. Hal inilah yang menyebabkan dunia Arab mengalami kesulitan untuk bangkit dari keterpurukan dan perpecahan yang menyejarah itu.

Kelompok-kelompok yang menghalalkan kekerasan dan pembunuhan atas nama Tuhan  di dunia Islam bukan hanya isapan jempol. Keberadaan kelompok-kelompok tersebut pada hakikatnya bertujuan memecah belah umat Islam.

Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kita dalam hadisnya, "Nanti akan muncul di antara umatku kaum yang membaca Al Quran, bacaan kamu tidak ada nilainya dibandingkan bacaan mereka, dan shalat kamu tidak ada nilainya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kamu tidak ada artinya dibandingkan puasa mereka, mereka membaca Al Quran sehingga kamu akan menyangka bahwasanya Al Quran itu milik mereka saja, padahal sebenarnya Al Quran akan melaknat mereka. Tidaklah shalat mereka melalui kerongkongan mereka, mereka itu akan memecah agama Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya" (HR Sahih Muslim/2467, Sunan Abu Daud/4748).

Perihal kelompok Khawarij yang selalu mengampanyekan kedaulatan Tuhan (hakimiyatullah), Imam Ali bin Abi Thalib memberikan pernyataan menarik. Bahwa sebenarnya kampanye kedaulatan Tuhan yang kerap dikampanyekan mereka pada hakikatnya bertujuan untuk kebatilan. Sebab, paham mereka terbukti telah menumpahkan darah dan perpecahan di tengah-tengah umat.

Terobosan

Apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad dan Imam Ali bin Abi Thalib tersebut seakan menemukan momentum dalam konteks keindonesiaan dan global pada masa-masa mutakhir ini.  Perlu terobosan untuk merekonstruksi keberislaman yang mencerminkan identitas Islam sebagai agama yang ramah bagi seluruh penghuni dunia (rahmatan lil alamin).

Islam Nusantara yang dijadikan tema muktamar NU kali ini pada hakikatnya salah satu ijtihad para ulama agar Islam dapat dipahami dan diamalkan untuk kemaslahatan bangsa dan dunia. Sebab, ekspresi keberislaman yang datang dari dunia Arab mutakhir-khususnya Al Qaeda dan NIIS-sangat meresahkan.

Islam yang berkembang di negeri ini sudah teruji mampu membangun kebersamaan sebagai bangsa, bahkan terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan, di tengah perkembangan wacana modern, seperti demokrasi, pluralisme, jender, dan hak asasi manusia, kelompok Muslim mampu beradaptasi dengan baik. Kalangan NU sendiri mampu mentransformasikan wacana modern tersebut dengan terma-terma pesantren. Demokrasi menjadi fiqh al-syura, pluralisme menjadi fiqh al-'addudiyyah, jender menjadi fiqh al-nisa,  dan hak asasi manusia menjadi fiqh huquq al-insan.

Diskursus Islam Nusantara kian kokoh melalui sebuah kaidah yang sangat populer di kalangan pesantren, "mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru/kemodernan yang lebih baik" (al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

Maka dari itu, Islam Nusantara bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah keislaman republik ini, melainkan khazanah yang sudah berlangsung lama. Ijtihad para ulama ini dimunculkan kembali untuk meneguhkan identitas kita sebagai umat Islam yang hidup di negeri ini dan peran yang harus dilakukan untuk menjaga kedamaian, merawat kebinekaan, dan mewujudkan keadilan sosial.

Puncaknya, para ulama NU berharap agar wajah Islam yang ramah dan toleran di negeri ini dapat jadi sumber inspirasi bagi dunia Islam yang sedang dirundung petaka akibat proliferasi ideologi NIIS. Para ulama NU menyerukan kepada dunia Islam di mana pun, saatnya kaum Muslim di dunia Arab dan Barat berkiblat ke Indonesia untuk menjadikan Islam sebagai jalan kedamaian dan kerahmatan.

Dengan demikian, Islam Nusantara bertujuan untuk mengingatkan kembali pentingnya moderasi dan toleransi dalam Islam. Namun, pada saat yang sama Islam Nusantara harus mampu mewarnai dunia sehingga Islam tidak selalu diidentikkan kekerasan dan terorisme. Semoga muktamar NU kali ini dapat melahirkan pemikiran yang genuine untuk proliferasi Islam Nusantara di negeri ini dan dunia. []

KOMPAS, 01 Agustus 2015
Zuhairi Misrawi ;  Intelektual Muda Nahdlatul Ulama; Ketua Moderate Muslim Society


EmoticonEmoticon