Tuesday, August 18, 2015

Memanggil Nabi dengan Sayyidina, Ini Dalilnya

Bahwa kalimat Sayyid itu memiliki dua makna. Pertama tidak satupun yang mengungguli. Dialah yang dituju manusia dalam segala hajat dan keinginan mereka. Makna kedua, yg tidak memiliki pencernaan yang mana ia tidak makan dan tidak minum.
Dalam memberikan penghormatan dalam shahadat, ulama menggunakan beragam unggapan. Jika tidak menggunakan kata sayyid, pastilah ada kata pujian lain pada kata sebelum dan sesudahnya. Itu terbukti setelah kata Muhammad dalam shahadat ada kata pemuliaannya yaitu gelar “Utusan Allah”, disanding dengan lafadz Allah yang sekaligus pencipta alam semesta.
Bukankah Allah tidak akan menyandingkan namanya kecuali dengan kekasihnya? Dalam Kaidah Fiqih sangat mashur sekali, "Menjaga tatakrama lebih utama dari ittiba’ (melaksanakan perintah).
–Pada acara pembukaan Muktamar ‘tetangga kita’ yang berlangsung di Makassar, 3-7 Agustus 2015 lalu, terjadi kegaduhan yang membuat kita isykal (penuh tanda tanya). Pasalnya mereka meneriaki seorang Pembawa Acara (MC) yang mengucapkan lafadz “Sayyidina Muhammad”.
Seperti diberitakan, peserta Muktamar berteriak. Situasi sempat gaduh lantaran mereka saling bicara satu sama lain. Padahal di panggung utama sudah hadir Presiden RI, H Joko Widodo.
Bahkan beberapa tokoh mereka saat diwawancarai tentang ucapan Sayyidina tersebut jawabannya kurang memuaskan. Nampaknya mereka tidak terbiasa dengan ucapan yang  mempunyai arti penghormatan atas Kanjeng Nabi Muhammad tersebut.

Saya ingin menjelaskan kebolehan mengucapkan lafadz “Sayyidina” kepada Nabi Muhammad SAW. Kita harus tahu apa arti kalimat Sayyid, dijelaskan dalam kitab “Ghoytsus Sahabah” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah halaman 39, dijelaskan bahwa:
“Kata Sayyid jika dimaknai secara mutlak, maka yang dimaksud adalah Allah. Akan tetapi jika dikehendaki makna lain maka bisa bermakna:
1. Orang yang diikuti di kaumnya.
2. Orang yang banyak pengikutnya.
3. Orang yang mulia di antara relasinya.”
Sementara pada halaman 37 disebutkan: “Orang yang memimpin selainnya dengan berbagai kegiatan dan menunjukkan tinggi pangkatnya”.
Sedangkan di dalam Kitab “Ghoyatul Muna” halaman 32, Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah menyebutkan: “Sayyid ialah orang yang memimpin kaumnya atau yang banyak pengikutnya.”
Dan masih banyak lagi makna lainnya. Dari sini kita mulai bisa mengerti makna beberapa Hadits yang ada lafadz Sayyid, misalnya:
-ﺍﻧﻬﻤﺎ ﺳﻴﺪﺍ ﺷﺒﺎﺏ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺠﻨﺔ
“Hasan dan Husein adalah pemimpin pemuda Ahli Surga”
-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﻭﻟﺪ ﺍﺩﻡ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻭﻻ ﻓﺨﺮ
“Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat”
-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
“Aku adalah pemimpin alam”
-ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ; ﻗﻮﻣﻮﺍ ﺍﻟﻰ ﺳﻴﺪﻛﻢ
Pada hadits ini Khottobi berkomentar tidak apa-apa mengatakan Sayyid untuk memuliakan seseorang, akan tetapi makruh jika dikatakan pada orang tercela.
Sementara dalam Kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi dalam catatan kaki halaman 4 nomor 2, dikatakan bahwa: “Memutlakkan kata Sayyid pada selain Allah itu boleh”.
Dalam kitab Roddul Mukhtar diterangkan: “Disunnahkan mengucapkan Sayyid karena Ziyadah Ikhbar Waqi’ itu menunjukkan tatakrama dan itu lebih baik dari meninggalkannya”.
Lalu selanjutnya jika mereka para Muktamirin bertendensi dengan dua hadits yaitu:
1. ﻻ ﺗﺴﻴﺪﻭﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ
2. ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ
Maka saya akan menjawab dari kitab “Ghoyatul Muna” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah dijelaskan pada halaman 32:
“Adapun hadits yang mengatakan “Jangan kau men-sayyid-kan aku dalam Shalat”, Hadits ini adalah Hadits yang tidak sah matan dan sanadnya, adapun matannya gugur menurut Ahli Hadits, sementara matannya lafadz ﺗﺴﻴﺪﻧﻲ itu tidak benar secara Nahwu karena yang benar lafadznya ﺗﺴﻮﺩﻭﻧﻲ ﻻ sedangkan Rasulullah SAW adalah paling fasihnya orang orang Arab.”
Sementara dalam Kitab “Maqosid Hasanah” halaman 463 dikatakan:
“Hadits ini merupakan Hadits Maudlu’ (palsu), itu tanggapan Al-Hafidzb As-Sakhowi bahwa hadits ini tidak ada asal usulnya dan salah dalam lafadznya.”
Sementara Hadits yang kedua akan saya jawab dari kitab “Zadul Labib” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah juz 1 halaman 9:
“Adapun Hadits yang diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ahmad dari Hadits Nabi SAW ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ yang dimaksud Siyadah disini adalah Siyadah secara mutlak, maka pahamilah dan diteliti betul”.
Jika anda masih mempertanyakan mengapa dalam Shalawat Ibrahimiyah pada Tahiyyat ditambah Sayyidina dan pada Tasyahhud tidak ada Sayyidina? Saya jawab: Mengatakan Sayyidina ini bertujuan memuliakan beliau. Dan perlu diingat memuliakan dan tatakrama itu lebih baik dari pada mengikuti perintah seperti Sayyidina Ali yang enggan menghapus kalimat “Rasulullah” dan berkata:
“Aku tak akan menghapusmu selamanya”. Pada saat itu Rasulullah tidak menyalahkan Sayyidina Ali. Begitu juga Hadits Dlohhak dari Ibnu Abbas, bahwa dulu orang menyebut “Ya Muhammad”, “Ya Abal Qosim”, lalu Allah melarang demi memuliakan beliau.
Sementara jika yang anda permasalahkan dari ayat الله الصمد ; اي بمعنى
سيد maka jawaban saya dari Kitab “Ibanatul Ahkam” juz 1 halaman 346:
“Bahwa kalimat Sayyid itu memiliki dua makna: Yang pertama tiada satupun yang mengungguli, dialah yang dituju manusia dalam segala hajat dan keinginan mereka. Sementara makna kedua yaitu yg tidak memiliki pencernaan yang mana ia tidak makan dan tidak minum”.
Sementara dalam Syahadat, Ulama dalam memberikan penghormatan beragam dan jika tidak ada kata Sayyid-nya pastilah ada kata pujian lain pada kata sebelum dan sesudahnya. Itu terbukti setelah kata Muhammad dalam Syahadat ada kata pemuliaannya yaitu gelar “Utusan Allah”, disanding dengan lafadz Allah yang sekaligus pencipta alam semesta. Bukankah Allah tidak akan menyandingkan namanya kecuali dengan kekasihnya? Dalam Kaidah Fiqih sangat mashur sekali:
“مراعة الأدب خير من الإتباع”.
“Menjaga tatakrama lebih utama dari ittiba’ (melaksanakan perintah)”. Wallahu’alam bisshowab.

Sumber: NU Online.


EmoticonEmoticon