Oleh: Azyumardi Azra
foto: rmol |
DUA organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh jagat dunia muslim, secara hampir bersamaan menyelenggarakan muktamar masing-masing pada pekan pertama Agustus.
Karena waktu pelaksanaan yang tumpang tindih, tidak mengherankan kalau ada kalangan pimpinan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang berseloroh kenapa muktamar kedua ormas tidak digabung saja. Toh tidak banyak lagi perbedaan furu'iyyah--hal 'ranting' dalam soal paham teologis dan ibadah di antara keduanya.
NU menyelenggarakan muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015, sedangkan Muhammadiyah melaksanakan Muktamar ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan, 3-7 Agustus 2015. Kedua muktamar bisa dipastikan dihadiri tidak hanya para muktamirin dan muktamirat, tetapi juga puluhan ribu penggembira, para peneliti dan pengamat Islam Indonesia yang dari berbagai penjuru Tanah Air dan mancanegara.
Keislaman-keindonesiaan
Jauh sebelum muktamar kedua organisasi diselenggarakan, baik Muhammadiyah maupun NU telah mengisyaratkan--atau tepatnya menegaskan kembali jati dirinya. Penegasan itu sangat penting dan tepat waktu mengingat tantangan yang dihadapi kedua ormas baik dalam ranah domestik maupun internasional, khususnya dengan masih berlanjutnya konflik, kekerasan ,dan perang di banyak wilayah dunia Islam, khususnya di Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Barat, dan Afrika.
Pada saat yang sama, dalam ranah domestik, kaum muslimin Indonesia yang mayoritasnya merupakan anggota dan simpatisan NU, Muhammadiyah dan banyak lagi ormas Islam arus utama (mainstream) di seluruh penjuru Tanah Air menikmati suasana aman, damai, dan harmonis.
Bisa dikatakan, Indonesia menjadi negara tempat umat beragama-- baik Islam maupun non-muslim-- dapat hidup nyaman. Kasus-kasus intoleransi keagamaan seperti Tolikara pada 1 Syawal 1436/17 Juli 2015, akhirnya sama sekali tidak mengganggu kenyamanan dan kedamaian umat-umat beragama berbeda.
Bisa dipastikan, baik muktamar NU maupun Muhammadiyah bertujuan pokok, antara lain, untuk memelihara dan meningkatkan kenyamanan, kedamaian dan harmoni secara internal di dalam organisasi masing-masing.
Hal yang sama juga diupayakan dalam kaitan dengan umat beragama selain muslim. Inklusivitas kedua organisasi sejak didirikan--Muhammadiyah (1912) dan NU (1926)--membuat mereka secara alamiah terus memperkuat kedamaian dan harmoni intra dan antarumat beragama. Tak kurang pentingnya, muktamar kedua ormas juga menegaskan kembali komitmen kebangsaan.
Bagi Muhammadiyah dan NU, keislaman dan keindonesiaan telah terintegrasi; bukan merupakan dua entitas yang tidak cocok (incompatible) apalagi bertentangan. Bagi warga NU dan Muhammadiyah, keislaman-keindonesiaan telah menjadi komitmen teologi-politik yang syar'i.
Meski demikian, kesetiaan keislaman kaum muslimin negeri ini pada keindonesiaan tidak terwujud dalam sikap teologis Jabariyah dengan menerima begitu saja berbagai masalah serius yang dihadapi Indonesia.
Karena itu, Muhammadiyah dalam beberapa tahun terakhir aktif melakukan 'jihad konstitusi' untuk pembatalan atau revisi UU yang merugikan warga bangsa. Para ulama NU dalam hari-hari menjelang muktamar mengeluarkan fatwa tentang haramnya menerima dana yang berasal dari korupsi dan tindakan pelanggaran hukum lain.
Dalam konteks ini dapat terlihat peran NU, Muhammadiyah, beserta seluruh ormas Islam nonpolitik lain sebagai Islamic-based civil society--masyarakat sipil berbasis Islam. Bersifat independen vis--vis negara, membiayai, dan mengatur diri sendiri, Muhammadiyah dan NU berada pada fron terdepan sebagai mitra kritis pemerintah.
Sebagai civil society, NU dan Muhammadiyah juga berperan krusial dalam penumbuhan dan penguatan civic culture yang menghasilkan civility (keadaban) yang mutlak bagi demokrasi untuk bertumbuh dan terkonsolidasi.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah dan NU berperan penting dalam memelihara kohesi sosial, khususnya dalam masa turbulensi politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan.
Dalam keadaan tidak menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, NU dan Muhammadiyah beserta ormas-ormas Islamic-based civil society memberikan kepemimpinan alternatif bagi negara-bangsa seperti terlihat dalam kemunculan Abdurrahman Wahid (Ketua Umum PB NU) menjadi Presiden RI pada 1999-2001 dan Amien Rais (Ketua Umum PP Muhammadiyah) sebagai Ketua MPR RI periode 1999-2004.
Dengan segala peranan yang dimainkan Muhammadiyah dan NU sebagai Islamic-based civil society, tidak mengherankan jika transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia berjalan secara relatif mulus. Hal ini kontras dengan transisi negara-negara Arab melalui Arab Spring sejak akhir 2010 yang berlangsung pahit dan kelam.
Kembalinya militer ke panggung kekuasaan, misalnya di Mesir, serta berlanjutnya konflik dan perang di Syria, Irak, Yaman atau Libya, memupus harapan bagi berhasilnya democracy opening di negara-negara Arab.
Penguatan Islam wasathiyyah
Berperan penting dalam lapangan dakwah-keagamaan, pendidikan, kepenyantunan sosial, ekonomi, dan civil society, jelas tantangan yang dihadapi NU dan Muhammadiyah tidak berkurang. Sebaliknya, salah satu tantangan paling serius yang mereka hadapi ialah tantangan ideologi dan praksis keagamaan yang umumnya bersumber secara transnasional.
Paham dan praksis transnasional mulai menemukan momentum di Tanah Air sejak masa demokrasi pasca-Soeharto dan kemudian mengalami proses radikalisasi setelah peristiwa 11 September 2001 di AS yang selanjutnya diiringi penyerbuan AS dan sekutunya ke Afghanistan dan Irak.
Instabilitas yang terus berlanjut di Afghanistan, Pakistan, Irak, Syria, Yaman, Mesir, dan Libya beriringan dengan kemunculan IS menjadi tantangan yang sama sekali tidak bisa diabaikan Muhammadiyah, NU, dan ormas-ormas Islam arus utama Indonesia.
Pascaperistiwa 9/11 NU dan Muhammadiyah sering mendapat kritik sebagai tidak terlalu jelas dan tegas dalam menghadapi ekstremisme dan radikalisme yang berkecambah dan meruyak, tidak hanya di Dunia Arab dan Asia Selatan, tetapi juga di Indonesia seperti terlihat dalam serangkaian pemboman di Tanah Air.
Di tengah gejala tidak menguntungkan ini, sebagian kalangan menuduh NU dan Muhammadiyah sebagai secara tersirat condoning violence--merestui kekerasan.
Jelas anggapan itu keliru.
Pimpinan kedua organisasi selama hampir satu setengah dasawarsa telah mengeluarkan peringatan kepada para pemimpin pada tingkatan lebih bawah untuk menjaga lembaga dan aset-aset lain yang mereka miliki dari infiltrasi yang dapat berakhir dengan penguasaan kalangan ekstrem dan radikal.
Keduanya beserta ormas lain seperti MUI juga bersikap sangat tegas terhadap IS. Mereka sepakat IS ialah bentuk penyimpangan paham dan aksi yang wajib ditolak.
Dalam konteks itu dapat dipahami, kenapa kedua ormas besar Islam ini sejak waktu cukup lama sebelum muktamar memberikan perhatian besar pada penguatan Islam wasathiyyah, Islam jalan tengah yang moderat, toleran, dan inklusif yang menekankan kedamaian dan harmoni dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan.
Dalam perspektif Muhammadiyah, penguatan Islam wasathiyyah itu terlihat dalam tema muktamar Gerakan pencerahan untuk Islam berkemajuan. Dalam pemahaman penulis, konsep 'Islam Berkemajuan' ialah 'Islam progresif' yang melalui pencerahan berorientasi ke depan bukan ke belakang.
Islam Berkemajuan adalah Islam wasathiyyah yang dengan karakter yang digambarkan tadi memberikan suasana dan iklim kondusif bagi kemajuan. Pada pihak lain, NU mengangkat tema muktamar Meneguhkan Islam Nusantara untuk membangun peradaban Indonesia dan dunia.
Hemat penulis, istilah 'Islam Nusantara' mengacu kepada tradisi Islam wasathiyyah yang telah berurat berakar selama berabad-abad di Indonesia. Kini tradisi tersebut diorientasikan untuk pembangunan peradaban Indonesia dan dunia.
Dengan karakter Islam wasathiyyah yang khas, Islam Nusantara memberikan peluang besar untuk pembangunan peradaban Indonesia. Dengan demikian, paradigma dan perspektif 'Islam Berkemajuan' dan 'Islam Nusantara' secara substantif tumpang-tindih dan saling melengkapi.
Setiap paradigma lebih mencerminkan perbedaan cara pandang dan pendekatan dalam membangun Islam Nusantara yang berkemajuan, sehingga dapat melahirkan peradaban Indonesia yang kontributif secara signifikan bagi pembangunan peradaban dunia yang damai dan harmonis.
Karena itu, kedua paradigma itu tidak perlu dipertentangkan satu sama lain, apalagi menganggap keduanya secara teologis dan praksis bermaksud menjauh dari ortodoksi Islam Indonesia, yaitu teologi Asy'ariyah, fiqh Syafi'i, dan tasawuf al-Ghazali. Justru kedua paradigma tersebut pada intinya merupakan penguatan ortodoksi Islam Indonesia yang distingtif. []
MEDIA INDONESIA, 03 Agustus 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bidang sejarah dan anggota Council on Faith, World Economic Forum Davos
EmoticonEmoticon