Oleh Abdul Moqsith Ghazali
Imam Ghazali tak hanya menjalankan tindakan-tindakan sufi, melainkan juga menulis buku-buku tasawuf. Karyanya yang paling gemilang di bidang ini adalah Ihya’ Ulum al-Din. Sejauh yang bisa dilihat dari karyanya ini, diketahui bahwa corak tasawuf al-Ghazali lebih dekat kepada tasawwuf khuluqi-‘amali ketimbang tasawwuf falsafi. Tak hanya bersandar kepada al-Qur’an dan Hadits yang menjadi ciri kuat tasawuf khuluqi-‘amali (kerap juga disebut tasawwuf sunni), melainkan juga al-Ghazali menuliskan pengalaman spiritual individualnya dalam buku ini.
Abstrak
Tak ada yang membantah kebesaran al-Ghazali. Magnum opusnya di bidang tasawuf,Ihya’ Ulum al-Din, mendapatkan sambutan meriah dan antusiasme dari publik Islam, sejak dulu hingga sekarang. Di tengah kecenderungan menjauhkan tasawuf dari ajaran Islam, Imam Ghazali menghidangkan tasawuf yang bertumpu pada al-Qur’an dan Hadits. KitabIhya’ Ulum al-Din rimbun dengan rujukan dan kutipan dalil-dalil normatif Islam. Etape-etape spiritual seperti zuhud, ridha, tawakkal, dan lain-lain diberinya pendasaran Qur’anik dan Hadits. Dari sini tak keliru sekiranya dikatakan bahwa corak tasawuf al-Ghazali adalahkhuluqi-‘amali dan bukan falsafi. Dengan corak tasawuf ini, al-Ghazali diresepsi umat Islam secara luas hingga datang Ibn Rusyd yang mengajukan sejumlah keberatan terhadap al-Ghazali. Namun, kritik orang-orang seperti Ibn Rusyd itu tak mengguyahkan kedudukan al-Ghazali di mata umat Islam. Argumen-argumen yang disuguhkan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din terlalu kuat untuk dipatahkan.
Alih-alih patah, di tengah dunia kontemporer Islam yang disesaki dengan corak dan ekspresi keberislaman yang keras dan tandus, pikiran-pikiran sufistik al-Ghazali seperti menemukan relevansi dan signifikansi untuk hadir kembali. Ia menyuguhkan konsep cinta (mahabbah), tauhid (monoteisme), makhafah (takut), dan ma’rifah (pengetahuan). Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah harus diwujudkan dalam bentuk cinta kepada seluruh makhluk Allah. Bahwa siapa yang menyayangi Allah dengan sendirinya menyayangi makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dari konsep tauhid ini lahir misalnya semangat untuk menyatu dengan Allah dengan cara membersihkan diri dari dosa melalui medium tobat (taubat), tak mengikatkan diri pada harta dunia (zuhd) karena khawatir terjauh dari Allah, menyerahkan segala urusan kepada Allah (tawakkul), rela terhadap segala keputusan dan ketentuan Allah (ridha). Tangga-tangga spiritual ini sekiranya dijalankan secara konsisten akan mengantarkan seseorang pada derajat mengetahui Allah (ma’rifat Allah). Doktrin-doktrin spiritual seperti ini akan tetap berguna. Di tengah masyarakat modern yang kerap merasa teralienasi, kitab Ihya’ Ulum al-Din seperti oase yang menyejukkan.
Pendahuluan
Nama Imam Ghazali (Abu Hamid al-Ghazali) sangat populer di lingkungan umat Islam. Rasanya amat jarang pelajar Islam yang tak mengenal tokoh ini. Ia bahkan menempati kedudukan istimewa di hadapan umat Islam (arfa’u makanah bayna al-nas). Sejumlah kitab buah tangan al-Ghazali menjadi obyek kajian di berbagai lembaga pendidikan Islam, mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. Hampir semua pondok pesantren di Indonesia terutama di Jawa dan Madura mengajarkan kitab-kitab tasawwuf karya al-Ghazali seperti Bidayah al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, hingga kitabIhya’ Ulum al-Din. Ketika saya belajar di pesantren, kitab Bidayah al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, dan Ihya’ Ulum al-Din banyak menghiasi rak buku para santri. Jika kitab Bidayah al-Hidayah mendapatkan kedudukan khusus di kalangan santri yunior (mubtadi’), kitab Minhaj al-Abidin menjadi bahan kajian santri setengah senior (mutawassith), maka kitab Ihya’ Ulum al-Din mendapatkan perhatian pokok di kalangan santri senior (muntahi) dan para ustadz bahkan kiai-pengasuh pondok pesantren.
Para pendidik Islam dan pemangku pondok pesantren berpendirian bahwa tiga kitab itu adalah rujukan pokok untuk membentuk moral umat Islam. Di dalam kitab itu misalnya dijelaskan tentang tata cara hidup zuhd (asketik), wara’ (menjauhkan diri dari hal-hal yang diduga tak dikehendaki Allah), taubat, ridla (mencari kerelaan Allah), dan sebagainya. Itu sebabnya, seluruh pondok pesantren salaf di Jawa seperti berlomba untuk mengajarkan tiga kitab tasawwuf itu pada para santri. Al-Ghazali sendiri menegaskan bahwa ilmu tasawwuf adalah ilmu yang paling tinggi. Melalui tasawwuf, demikian al-Ghazali, seorang Muslim akan mendapatkan bimbingan untuk menangkap Kebenaran melalui pintumukasyafah atau pengalaman teofanik. Dengan tasawwuf, seorang Muslim akan berjumpa dan melihat Allah (ma’rifatuh-musyahadah). Sebaliknya, orang Islam yang tak belajar ilmu tasawwuf dikhawatirkan, menurut al-Ghazali, jika kelak ia meninggal dunia, maka ia akan meninggal dunia dengan ujung hayat yang buruk (su’u al-khatimah).
Sebagaimana umumnya para sufi lain, Imam al-Ghazali meletakkan tasawwuf tetap dalam koridor syariat. Baginya, tasawwuf tak boleh dipisahkan dari syariat. Namun, syariat yang dijalankan al-Ghazali bukan syariat yang bersifat legal formal semata melainkan syariat yang basah dengan spirit moral dan etika. Syariat adalah wadahnya, sedangkan tasawwuf adalah isinya. Dalam konteks itu, Imam Ghazali melakukan interpretasi esoterik terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Inilah salah satu jasa intelektual al-Ghazali yang dicatat sejumlah akademisi muslim kontemporer. Al-Ghazali adalah tokoh Islam yang bisa memadukan antara fikih yang bergerak di wilayah eksoterik dan tasawwuf yang berjuang di domain esoterik. Dengan kehadiran al-Ghazali, polemik panjang antara ahli fikih dan ahli tasawwuf saat itu bisa diminimalkan kalau tak bisa diakhiri sama sekali. Bahkan, tak hanya durasi ketegangan antara fuqaha dan ulama sufi yang bisa dikurangi melainkan juga volume penyerangan dan penghukuman mati terhadap para sufi--sekurangnya pada zaman Imam Ghazali--bisa terus ditekan.
Itu sebabnya, karya-karya al-Ghazali mendapat elaborasi dan komentar dari para ulama setelahnya. Di antaranya yang paling monumental adalah karya Murtadha al-Zabidi berjudul Itihaf al-Sadah al-Muttaqin bi Syarh Asrar Ihya’ Ulum al-Din sebagai kitab syarahterhadap kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali. Para ulama Nusantara tak ketinggalan ikut menerjemahkan dan memberikan syarah terhadap karya etika spiritual Imam Ghazali. Di antaranya, Abdusshamad al-Palimbani (yang hidup dan aktif berkarya pada abad ke 18) misalnya menulis kitab Hidayah al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin sebagai karya terjemahan berbahasa Melayu dari kitab Bidayah al-Hidayah karya Imam al-Ghazali, dan kitab Sair al-Salikin ila Ibadah Rabb al-Alamin yang juga merupakan terjemahan berbahasa Melayu dari kitab Ihya’ Ulum al-Din. Bahkan, al-Palimbani menulis buku khusus yang menjelaskan kelebihan dan keistimewaan kitab Ihya’ Ulum al-Din yang berjudul Fadha’il al-Ihya’ li al-Ghazali. Di samping al-Palimbani, Kiai Ihsan ibn Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri membuat kitab berbahasa Arab berjudul Siraj al-Thalibin (dua jilid) sebagai syarah terhadap kitab Minhaj al-Abidin. Namun, di antara buku-buku syarah terhadap Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali yang paling populer di pesantren adalah Maraqi al-‘Ubudiyahkarya Syaikh Nawawi Banten.
Karya-karya Imam Ghazali menyebar di seluruh dunia Islam terutama Islam Sunni. Tak hanya di kawasan Timur Tengah seperti di Mesir, Maroko, melainkan juga di Asia tenggara. Secara agak berlebihan, ada yang berkata bahwa di kalangan Islam, Imam Ghazali adalah orang kedua setelah Rasulullah yang ajaran-ajarannya berpengaruh cukup luas. Fazlur Rahman berkata bahwa pengaruh Imam Ghazali tak terkirakan. Baginya, Imam Ghazali tak hanya membangun kembali Islam ortodoks dengan menjadikan tasawuf sebagai bagian integralnya, melainkan juga ia merupakan pembaharu besar tasawuf yang berhasil membersihkannya dari anasir yang tak islami. Melalui pengaruhnya, tasawuf mendapatkan pengakuan melalui konsensus umat Islam.
Bahkan, ada yang berkata bahwa popularitas Imam Ghazali tak hanya berlangsung dalam umat Islam melainkan juga hingga non-Muslim. Noktah-noktak pemikiran Imam Ghazali misalnya menjelma dalam karya-karya filosof Yahudi bernama Musa ibn Maymun (Moses the Maimonedes). Menarik, Maimonedes menulis buku dalam bahasa Arab dengan judul yang sama dengan buku karya Imam Ghazali, yaitu al-Munqidz min al-Dhalal. Tak hanya dalam Yahudi, pemikiran Imam Ghazali merembes pada para pemikir Kristen abad pertengahan seperti Bonaventura. Bahkan, mistisisme Imam Ghazali ikut mempengaruhi mistisisme Kristen Katolik Ordo Fransiscan, sebuah ordo yang karena menyerap ilmu-ilmu keislaman memiliki orientasi yang lebih ilmiah dibanding ordo-ordo lain seperti terungkap dalam novel Umberto Eco yang berjudul The Name of the Rose.
Namun, di antara berpuluh bahkan ratusan karya Imam Ghazali tampaknya Ihya’ Ulum al-Din yang memiliki pengaruh cukup kuat di dunia Islam. Kitab ini seperti ensiklopedi yang merangkum isu-isu pokok di dalam ilmu tasawuf yang diramu dengan syariat dan fikih Islam. Terdiri dari empat jilid dengan empat pokok bahasan, yaitu tentang ibadat (rub’u al-ibadat) seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain; tentang adat-muamalah (rub’u al-‘adat) membahas soal nikah, mencari nafkah, etika persahabatan, dan lain-lain; tentang hal-hal yang membawa petaka bagi manusia (rub’u al-muhlikat) seperti bahaya lisan, bahaya iri-dengki, cinta dunia-kedudukan; tentang hal-hal yang menyelamatkan manusia (rub’u al-munjiat) seperti taubat, sabar, syukur, tauhid, tawakkal, mahabbah, ridha, dan sebagainya. Masing-masing dirinci dalam sepuluh kitab dengan puluhan bab dan bayanuntuk setiap kitabnya.
Dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, menurut Badawi Thabanah, Imam Ghazali membahas tentang ilmu fikih, psikologi, filsafat, sosiologi, dan tasawuf. Namun, ia memiliki cara, teknik dan perspektif tersendiri dalam membahas ilmu-ilmu tersebut. Ilmu fikih misalnya. Jika mayoritas ahli fikih membahas shalat dari aspek legal-formalnya (syarat-rukunnya), maka Imam Ghazali melihatnya dari sudut spiritualnya (asrar al-shalat). Demikian komplitnya pembahasan Imam Ghazali dalam kitab ini hingga Ibn al-Najjar berkata bahwa apa yang ditulis Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin merupakan ilham dari Allah atau buah dari ma’rifat yang dianugerahkan Allah kepada yang bersangkutan selama menjalani kehidupan sufi (anna ma hadatsa bihi al-Ghazali fi Baghdad min kitab Ihya’ Ulum al-Din kana ilhaman aw kana tsamratan min tsamaratin al-ma’rifah allati afadhaha Allah ‘alaihi fi marhalah nusukihi wa tashawwufihi). Apa yang dikemukakan Ibn al-Najjar tersebut sebagai bukti kekaguman yang bersangkutan terhadap karya agung Imam Ghazali ini.
Demikian banyak karya sufistik al-Ghazali, maka sebagaimana tampak dalam judul--tulisan ini akan merujuk pada kitab Ihya’ Ulum al-Din. Kitab ini akan diungkap secara deskriptif menyakut isi dan kandungannya lalu dianalisasis secukupnya. Karena kitab ini memiliki spektutrum dan kandungan yang luas, maka artikel ini akan fokus membahas tentang pokok-pokok ajaran tasawuf Imam Ghazali dalam kitab tersebut. Dari sini bisa diketahui tentang corak pemikiran tasawufnya. Namun, sebelum masuk pada pokok soal tersebut, akan dikemukakan terlebih dahulu tentang biografi sosial intelektual Imam Ghazali termasuk siapa saja guru-guru yang telah mempengaruhinya terutama dalam ilmu tasawuf. Biografi sosial-intelektual ini penting dikemukakan untuk mengetahui konteks sosial-intelektual dari noktah pemikiran tasawuf Imam Ghazali sehingga kita tahu mengapa pada ujung hidupnya ia lebih memilih sebagai seorang sufi.
Tak bisa dimungkiri, keunggulan sebuah karya intelektual bisa dilihat dari kemampuannya mengadaptasikan diri dengan lingkup masyarakat dunia yang plural. Dari itu, di ujung artikel ini juga akan diungkap relevansi dan signifikansi doktrin-doktrin spiritual Imam al-Ghazali terutama dalam konteks masyarakat modern yang kerap merasa teralienasi dan mengalami disorientasi. Seberapa jauh doktrin-doktrin tasawuf al-Ghazali memiliki makna baik secara intelektual maupun secara moral dalam masyarakat kontemporer.
Biografi Sosial Intelektual
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thaus Ahmad al-Thusy al-Ghazali. Lahir tahun 1058 M/450 H di Ghazalah, desa dekat Thus (sebuah kota kecil di Iran), suatu daerah yang pada masa itu dikenal sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan. Dari kota ini lahir sejumlah penyair dan ulama besar, seperti Firdawsi, Umar Kayam, Abu Yazid al-Busthami dan Husayn ibn Manshur al-Hallaj. Ayahanda al-Ghazali sendiri adalah seorang ulama. Namun, sayang ayahandanya terlalu cepat dipanggil Allah. Al-Ghazali ditinggal Sang Ayah ketika ia masih kecil. Sebelum wafat, Sang Ayah telah menitipkan al-Ghazali kepada salah seorang temannya yang dikenal sebagai sufi hingga al-Ghazali berumur 15 tahun. Usai belajar pada teman Sang Ayah itu, al-Ghazali belajar ilmu fikih Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad al-Radzkani. Tahun 465 H., al-Ghazali berangkat ke Jurjan Mazandaran untuk belajar kepada Imam Abi Nashr al-Isma’ili. Pada waktu di Jurjan ini, al-Ghazali menulis buku pertama, al-Ta’liqat fi Furu’ al-Madzhab.
Tahun 470 H. /1077-8 M., ketika berumur 19 tahun, al-Ghazali berangkat ke Nishabur untuk belajar di al-Nizhamiyah. Di sekolah ini, ia belajar fikih, teologi, logika, filsafat Ibnu Sina pada Abu al-Ma’ali al-Juwaini Imam al-Haramain (1085 M). Dalam usia 20 tahun, al-Ghazali telah menulis buku dalam bidang ushul fikih, yaitu al-Mankhul fi Ushul al-Fiqh. Al-Juwaini sangat membanggakan al-Ghazali. Ia kerap menugaskan al-Ghazali untuk memimpin diskusi-diskusi ilmiah. Setelah al-Juwaini meninggal dunia (478 H./1085), al-Ghazali belajar tasawwuf pada Abu Ali al-Fadh ibn Muhammad ibn Ali al-Farmadhi al-Thusi (w. 1084), salah seorang murid Imam al-Qushairi, penulis kitab al-Risalah al-Qusyairiyah. Dari al-Farmadhi, al-Ghazali banyak belajar jalan-jalan kesufian hingga al-Farmadhi meninggal dunia di Thus pada tahun 477 H./1084 M.
Kedalaman ilmunya itulah yang mengantarkan al-Ghazali menempati kedudukan puncak di Universitas Nizhamiyah. Di perguruan tinggi itu al-Ghazali tak hanya mengajar melainkan juga ditunjuk sebagai rektor dalam usia 34 tahun. Selama empat tahun lamanya (1091 M.-1095 M.), al-Ghazali menjabat rektor al-Nidzamiyah di Baghdad. Namun, selama menjadi rektor al-Ghazali merasa ada yang salah dari pemerolehan jabatan dan karir intelektualnya. Ia ingin segera meninggalkan Baghdad dan berhenti sebagai rektor. Pada tahun 488 H./1095 M, al-Ghazali menderita suatu penyakit yang menyebabkan aktivitas mengajarnya terganggu. Ada yang berkata bahwa penyakit itu muncul akibat keraguan al-Ghazali, apakah ia akan tetap melanjutkan karir politiknya sebagai rektor ataukah berhenti sebagai rektor lalu pulang ke kampung halaman. Kebimbangannya ini dituturkan al-Ghazali dalam kitabnya, al-Munqidz min al-Dlalal sebagai berikut:
“Pernah aku merenung dan berfikir untuk meninggalkan Baghdad dengan segala kemewahannya. Tetapi, hatiku ragu. Keinginan kuat di waktu pagi untuk menggapai kebahagiaan akhirat tiba-tiba pupus di sore hari. Kecenderungan duniawi telah menjadi rantai pengikatku. Suara keimanan dalam hati berseru, “bersiaplah! Umur tinggal sedikit sementara perjalanan masih panjang. Ilmu dan amalmu hanya pamer dan imagi. Jika kamu tak segera mempersiapkan bekal menuju akhirat, maka kapan kamu akan mempersiapakan? Jika kamu tak memutus diri dari pengaruh dan godaan duniawi, maka kapan kamu akan memutus? Saat itu, maka muncullah kemauan keras untuk lari dan membebaskan diri. Lagi-lagi setan berkata, “itu hanya perasaan sesaat, tak perlu kamu hiraukan, karena sebentar lagi juga akan sirna. Tak usah kamu tinggalkan kedudukanmu ini, karena kamu akan menyesal. Tak mudah kamu meraihnya kembali”.
Lama aku terombang-ambing antara tendensi duniawi dan motif ukhrawi. Hampir enam bulan, sejak awal Rajab 488 H. hingga puncaknya ketika Allah mengunci lisanku dan aku tak kuasa untuk mengajar. Pernah aku hendak memaksakan diri, demi menyenangkan orang-orang, tetapi tidak satu katapun bisa keluar dari mulutku. Sangat menyedihkan. Nafsu makan hilang dan kesehatan merosot. Para dokter yang merawatku putus asa. Mereka berkata bahwa penyakit itu bersumber dari hati (amr nazala bi al-qalbi); tidak ada obatnya kecuali istirahat dan melepaskan diri dari segala pikiran. Lalu aku bersandar hanya kepada Allah hingga Allah meringankan hatiku untuk berpaling dari urusan kedudukan, harta,…
Tak terlalu lama dari itu, Imam Ghazali meninggalkan Baghdad. Dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, ia menegaskan bahwa dirinya takut masuk neraka jika terus menerus hidup dalam lingkungan kerja yang tak bermoral. Ia khawatir dirinya akan terseret dalam perbuatan tercela seperti korupsi yang yang marak di kalangan para ulama istana saat itu. Bagi al-Ghazali, kenikmatan dunia dengan segala tipu dayanya adalah musuh Allah (fa inna al-dunya ‘aduwwuh Allah azza wa jala bi ghururiha). Dalam al-Munqidz min al-Dhalal, ia menjelaskan bahwa karya intelektual yang telah dihasilkannya tak menjadi jembatan untuk mengantarkan dirinya untuk berada dekat di sisi Allah. Ia berkata bahwa tendensi duniawi seperti kedudukan dan popularitas (thalab al-jah wa intisyar al-shit) adalah motif dominan (ba’itsuha wa muharrikuha) di balik penulisan karya-karya itu. Dengan alasan etis moral itu, Imam Ghazali keluar dari Baghdad menuju Damaskus Suria, selama dua tahun. Waktu di Damaskus ini, ia menghabiskan banyak waktunya dengan bersemedi di menara mesjid Umayyah yang belakangan dikenal dengan Menara al-Ghazali. Sambil menjalani hidup asketik dan pelaksanaan ritual peribadatan, Imam Ghazali mulai menulis Ihya’ Ulum al-Din.
Dari Damaskus, ia terus mengembara menelususi berbagai negara, seperti Jerusalem, Hebron, Mesir (Kairo dan Alexandria), Madinah, Mekah, kembali ke Baghdad sebentar di bulan Juni 1097, sebelum akhirnya ia pulang ke kampung halamannya, Thus. Setelah berbulan-bulan berada di Mekah dan Madinah, ia memilih kembali ke tanah kelahirannya. Tentang kepulangannya ini, al-Ghazali dalam kitab al-Munqidz min al-Dhalal menyatakan, “Dari pengembaraan panjang ini, aku pulang ke rumah, karena panggilan anak-anak dan keperluan keluarga lainnya. Ketika di rumah, aku berusaha untuk ‘uzlah, khalwat, dan membersihkan hati (tashfiyah al-qalbi li al-dzikr). Berbagai peristiwa, urusan keluarga, dan keperluan hidup, mempengaruhi tujuan dan mengganggu kejernihan khalwat (tusyawwisyu shafwah al-khalwah). Hanya sesekali aku bisa mendapat kesempatan sempurna. Aku tidak putus asa dan khalwat terus berjalan. Demikian, sampai berlangsung sekitar sepuluh tahun”.
Selama berada di kampung halamannya ini, al-Ghazali melanjutkan menulis kitab sekaligus mengajarkan Ihya` Ulum al-Din. Ia berdakwah menyampaikan hasil yang diperolehnya dalam mencari kebenaran. Al-Ghazali menyeru agar orang bertaubat dan mendorong mereka meninggalkan hidup keduaniwian. Baginya, semua perjalanan spiritual bagi manusia yang terjerembab dalam dosa mesti dimulai dari sebuah penyesalan dan pertobatan. Imam Ghazali juga menyeru agar orang beriman kembali pada kehidupan sederhana. Menganjurkan mereka agar bersiap melakukan pengembaraan guna menggapai kehidupan akhirat, mencari hidayah dari orang-orang yang telah mencapai makrifat dan pencerahan dari Tuhan. Di tanah kelahirannya ini, al-Ghazali membangun Khaniqah bagi para sufi dan madrasah bagi mereka yang hendak belajar agama. Di Khaniqah dan madrasah ini, al-Ghazali menenggelamkan seluruh aktivitas kesehariannya dengan membaca al-Qur`an, mengajar, berpuasa, shalat tahajjud, dan berpuasa hingga meninggal dunia. Beberapa tahun sebelum meninggal, Imam Ghazali seperti melakukan konversi intelektual dari rasionalisme ke sufisme.
Al-Ghazali meninggal pada waktu Subuh hari Senin, 14 Jumad al-Tsani 505 H. bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M., dalam usia 53 tahun. Menurut Ibnu al-Imad, ia meninggal usia 55 tahun. Al-Ghazali dimakamkan di luar Thabaran, dekat makam seorang penyair terkenal, Firdawsi. Tentang kematinnya, saudara Imam Ghazali bernama Ahmad bercerita bahwa suatu waktu al-Ghazali berwudhu` dan berdo’a, dan kemudian berkata; “bawakan kain kafanku”, kemudian ia mengambil dan menciumnya, dan meletakkan di hadapan mukanya seraya berkata, “dengan senang hati saya memasuki Kehadirat Kerajaan”. Kemudia ia meluruskan kakinya dan berlalu menemui sang Khalik. Seyyed Hosesen Nasr mengutip bait-bait puisi Arab gubahan Imam Ghazali yang ditemukan dibawah bantalnya setelah kematian beliau:
Katakatan kepada saudara-saudara yang melihat ketika aku mati,
Dan menangis untukku, meratapiku dalam kesedihan;
“Kau kira akulah mayat yang akan kau kuburkan ini?
Demi Allah jasad ini bukanlah aku.
Aku ada di dalam Ruh dan tubuhku ini
Dulunya tempat tinggalku, pakaianku untuk sementara waktu…
Aku memuji Allah yang telah membebaskanku, dan menjadikan
Bagiku tempat tinggal di langit tinggi.
Mulai sekarang aku adalah orang mati di tengah-tengah kalian,
Tetapi aku telah menyongsong hidup, dan melepas selubungku
Corak Tasawwuf
Imam Ghazali bukan orang pertama yang disebut sufi. Ia juga bukan perintis dan peletak dasar ilmu tasawuf. Jauh sebelum Imam Ghazali menulis buku-buku tasawuf, beberapa abad sebelumnya sudah muncul beberapa ulama yang concern pada ilmu tasawuf. Pada abad kedua Hijriyah, para sufi muncul dari daerah-daerah seperti Kufah, Bashrah, Madinah, Khurasan, dan Mesir. Di antara mereka adalah al-Hasan al-Bashri (w. 110 H./729 M.), Sufyan al-Tsauri (w. 135 H./754 M), Ibrahim ibn Adham (w. 161 H./778 M.), Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H./801 M.) dan Fudhail ibn Iyadh (w. 187 H./803 M.). Pada periode ini tak banyak buku-buku tasawuf yang ditulis mereka. Baru pada abad ketiga Hijriyah mulai bermunculan sejumlah tokoh sufi yang menulis buku. Di antaranya adalah Haris al-Muhasibi (w. 243 H./857 M.) yang menulis buku al-Ri’ayah li Huquq Allah, Abu Sa’id al-Kharraz (w. 277 H.) dengan bukunya al-Thariq ila Allah aw Kitab al-Shidq, Dzun Nun al-Mishri dengan bukunya, al-Mujarrabat, dan Junaid al-Baghdadi dengan kitab Rasa’il al-Junaid.
Tasawuf dalam periode ini telah berkembang menjadi mistisisme dalam Islam. Tasawuf coba disandarkan pada teks-teks al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Para sufi menyadari bahwa ketekunan dalam beribadah, tak cinta pada kenikmatan dunia, pasrah hanya kepada Allah, cinta penuh kepada Allah adalah jalan-jalan menuju pemerolehan ridha Allah dan tersingkapnya hijab-tirai yang memisahkan manusia dengan Allah. Kehidupan sufi saat itu dipenuhi dengan kedisiplinan dalam menjalankan ibadah wajib dan kedisiplinan dalam melaksanakan ibadah sunnah seperti shalat tahajjud, membaca al-Qur’an, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya. Dengan menjalankan ritus peribadatan tersebut ditambah dengan suasana hati yang terus mengingat Allah (dzikr Allah), maka para sufi bisa menyaksikan (musyahadah) dan mengetahui Allah (ma’rifatullah).
Pada abad ketiga Hijriyah juga muncul sufi Abu Manshur al-Hallaj (224 H./857 M.-309 H./922) yang mengintroduksi konsep hulul. Ia sering mengeluarkan ungkapan-ungkapan spiritual tak lazim (syathahat). Ungkapannya yang berbunyi “ana al-Haqq” (aku adalah Tuhan) menimbulkan badai kontroversi di tengah masyarakat. Al-Hallaj tampaknya tak sendirian. Beberapa tahun sebelum al-Hallaj bicara tentang konsep Hulul, al-Junaid sudah bicara tentang konsep yang mirip, yaitu konsep Tauhid-Fana’-Uluhiyyah dan Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H./875 M.) bicara tentang konsep Ittihad yang nanti di tangan Muhyiddin Ibn Arabi (560 H./1165 M.-638 H./1240 M) berkembang menjadi wihdatul wujud. Model tasawuf ini dikenal dengan tasawuf falsafi.
Sementara pada abad keempat makin banyak karya-karya tasawuf yang bermunculan. Abu Bakar ibn Abi Ishaq Al-Kalabadzi (w. 380 H.) menulis buku al-Ta’arruf li Madzhab Ahli al-Tasawwuf, Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi (w. 378 H.) menulis buku al-Luma’, Abu al-Qasim Abdul Karim al-Qusyairi (lahir 376 H./986 M.) menulis buku al-Risalah al-Qusyairiyah.Namun, berbeda dengan abad ketiga Hijriyah yang mulai memunculkan tasawuf falsafi, maka abad keempat Hijriyah lebih banyak berfokus kepada tasawuf khuluqi-amali, yaitu tasawuf yang aksenstuasinya lebih pada tata cara dan mekanisme penyucian hati, asketisme, hidup sederhana, dan pembinaan moral. Sepanjang abad ini tak dijumpai tokoh sufi yang mengembangkan tasawuf falsafi al-Junaid, Abi Yazid al-Busthami, dan Abu Manshur al-Hallaj. Pemikiran tasawuf al-Junaid misalnya lebih banyak diungkap corakkhuluqi-amali ketimbang corak falsafinya.
Abad kelima Hijriyah banyak diwarnai pemikiran tasawuf Abdul Qadir ibn Musa al-Jilani (470 H.-561 H.) dan Imam Ghazali. Al-Jilani memiliki karya seperti Sirr al-Asrar wa Mazhhar al-Anwar fima Yahtaju ilaihi al-Abrar, Futuh al-Ghaib, al-Fath al-Rabbani, Jala’ al-Khathir, dan lain-lain. Al-Jilani (di Indonesia lebih sering disebut al-Jailani) banyak merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits dan pengalaman spiritual individualnya. Ini misalnya terlihat dalam dua buah karyanya; Sirr al-Asrar dan Futuh al-Ghaib. Ia jarang merujuk pada kitab-kitab karya ulama sufi sebelumnya. Kekuatannya terletak pada pengalaman batinnya.
Berbeda dengan al-Jilani, dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, Imam Ghazali merujuk kepada konsep tauhid Husain ibn Manshur al-Hallaj dan asketisme al-Muhasibi, misalnya. Dalamal-Munqid min al-Dhalal, Imam Ghazali mengakui bahwa para sufi berikut adalah orang-orang yang memiliki pengaruh kuat dalam membetuk corak pemikiran dan pilihan hidup al-Ghazali. Mereka itu adalah, Abu Thalib al-Makki (w. 386 H./996 M.), Haris al-Muhasibi (w. 243 H./857 M.), Junaid al-Baghdadi (w. 298 H./854 M.), Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H./875 M.), dan al-Shibli (w. 334 H./945 M.). Ia juga telah mengenal pernyataan-pernyataan sufi seperti Abu Sulaiman al-Darami (w.215 H./850 M.), al-Sir al-Saqathi (w. 253 H.), Rabi’ah al-‘Adawiyah (w. 185 H./801 M.) hingga Ibrahim ibn Adham (w. 162 H). Kitab Ihya’ Ulum al-Din yang dianggap sebagai masterpiece ini basah dengan kutipan-kutipan dari para tokoh sufi sebelum Imam Ghazali tersebut.
Merujuk kepada para tokoh sufi itu, Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din banyak mengeksplorasi maqamat dan ahwal seperti telah diletakkan fondasinya oleh para sufi sebelumnya. Ia berbicara tentang taubat, keutamaan riyadah, zuhud, tawakkal, dan ridha. Ibrahim Basyuni menyebut stasiun-stasiun spiritual tersebut bukan dengan maqamatmelainkan mujahadat. Bagi al-Ghazali sekiranya seorang salik tak sanggup menjalanimaqamat tersebut karena gangguan di luar, maka al-Ghazali menganjurkan yang bersangkutan untuk menjalani uzlah (mengisolasi diri secara sosial). Dalam Ihya’ Ulum al-Din, ia menjelaskan keuntungan dan manfaat hidup ‘uzlah. Dalam soal ahwal, al-Ghazali bicara tentang mahabbah, ma’rifah, bahkan penyatuan diri dengan Allah melalui pembahasan tauhid.
Bagi al-Ghazali, taubat adalah hal pertama yang harus dilalui oleh seorang salik (mabda’ thariq al-salikin, ra’su mal al-fa’izin, awwal iqdam al-muridin). Dengan perkataan lain, tak ada salik yang tak melalui maqam taubat ini. Inilah yang disebut sebagai fase takhalli, yaitu mengosongkan diri dari dosa-dosa baik kepada Allah maupun kepada sesama yang potensial mengotori hati seorang salik. Demikian susahnya masa-masa awal menjalani kehidupan sufi, maka seorang salik bisa menjalani maqam taubat dalam waktu lama. Selesai menjalani fase takhalli ini, maka salik segera memasuki fase tahalli, yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang baik, bukan hanya berakhlak baik kepada manusia melainkan juga kepada Allah. Di sini salik harus menjalani maqam-maqam berikutnya seperti maqam zuhud, sabar, syukr, tawakkal, dan ridha untuk sampai pada fase tajalli, yaitu ma’rifatullah.
Tentang sabar, Imam Ghazali berkata bahwa sabar adalah satu soko guru bagi para salik. Sabar tak hanya di dalam menjalankan ibadah kepada Allah, melainkan dalam menghadapi hinaan umat manusia. Ia berpendapat, sabar atas hinaan manusia adalah kesabaran yang paling tinggi (al-shabr ‘ala adza al-nas min a’la maratib al-shabr). Demikian luas dan tak terbatasnya penerapan sabar, Imam Ghazali mengutip pernyataan Nabi Isa. Ketika ditanya tentang sanksi hukum berupa gigi dibalas gigi, hidung dengan hidung, maka Nabi Isa berkata, “janganlah keburukan dibalas dengan keburukan; ketika pipi kananmu ditampar, maka berikanlah kiki pipimu”. Sufi, demikian Imam Ghazali, harus sabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan ujian.
Sementara zuhud, Imam Ghazali berkata bahwa zuhud adalah meninggalkan perkara-perkara mubah yang dikehendaki hawa nafsu (tarku al-mubahat allati hiya hadhdh al-nafs). Bagi Imam Ghazali, orang yang hanya mencukupkan diri dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan tak disebut sebagai orang zuhud (zahid). Orang zuhud adalah mereka yang di hatinya tak terlintas keindahan dan kenikmatan harta dunia (‘alaiq al-dunya). Untuk mengontrol diri agar tak mencintai kenikmatan dunia, Imam Ghazali pun memilih hidup miskin. Ketika keluar dari Baghdad sebagai rektor, Imam Ghazali meninggalkan harta kekayaannya kecuali yang dibutuhkan untuk kebutuhan pokok buat diri dan keluarganya”. Al-Ghazali pun mengutip celaan al-Muhasibi terhadap orang yang suka hidup mewah dan memuji orang yang hidup sederhana.
Imam Ghazali kemungkinan mengikuti pola hidup Ibrahim ibn Adham yang meninggalkan gemerlap harta dunia dan memilih hidup sederhana sebagai orang miskin. Dikisahkan dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, “seorang laki-laki datang menjumpai Ibrahim ibn Adham dengan membawa sepuluh ribu dirham. Ia menolak pemberian itu. Laki-laki tersebut keberatan dan bertanya kenapa pemberian itu ditolak. Ibrahim berkata kepadanya, “apakah kamu menghendaki agar aku menghapus namaku dari deretan orang-orang fakir dengan pemberian sepuluh ribu dirham tersebut (aturidu an amhuwa ismi min diwan al-fuqara’ bi ‘asyrah alafi dirham)?” “Aku tak akan melakukan itu selamanya”, tandas Ibrahim ibn Adham. Mengutip Ibrahim ibn Adham, Imam Ghazali menegaskan bahwa hati manusia tertutup karena tiga hal; bahagia terhadap apa yang dimiliki (al-farahu bi al-maujud), menderita terhadap apa yang hilang darinya (al-khuznu bi al-mafqud), dan senang terhadap pujian orang lain (al-surur bi al-madhi).
Menurut Imam Ghazali, orang kaya adalah orang yang memiliki sedikit angan-angan dan menerima semua pemberian (qillah tamannika wa ridhaka bima yakfika). Gemerlap kenikmatan dunia bisa menipu banyak orang. Kekayaan dunia, menurutnya, potensial menghambat perjumpaan seseorang dengan Tuhannya. Imam Ghazali kemudian mengutip sebuah hadits, “nabi paling akhir yang masuk surga adalah Sulaiman ibn Dawud tersebab kekuasaan yang digenggamnya, dan sahabatku yang paling akhir masuk surga adalah Abdurrahman ibn Auf karena kekayaannya”. Dengan itu, di ujung usianya Imam Ghazali memilih hidup zuhud-sederhana di kampung halamannya, Thus. Ia terus memperbaiki hatinya agak tak tertipu dengan aksesorik simbolik yang dikenakan badannya. Dengan jeli Imam Ghazali menegaskan bahwa tak sedikit para sufi yang tak mendapat perlindungan dari Allah bisa tertipu dengan baju yang dikenakannya. Mereka menyangka bahwa dengan mengenakan baju, simbol-simbol dan aksesoris seperti yang dipakai para sufi, maka dengan sendirinya mereka akan menjadi sufi. Secara konsisten Imam Ghazali menjaga diri dari memakan makanan yang syubhat apalagi yang haram. Ia pun makan hanya seperlunya (bi qadr al-hajah).
Imam Ghazali pun menganjurkan agar manusia menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah (tawakkal). Sebagaimana Harits al-Muhasibi, Imam Ghazali mengembangkan metode muhasabah, yaitu senantiasi mencermati hati nurani dan keadaan psikologis diri sendiri agar tak lepas dari Allah lalu berpaling pada dunia. Ia mengutip al-Sir al-Saqathi, “tak akan bahagia orang yang zuhud selama ia masih sibuk tentang dirinya” [la yathibu ‘aisy al-zahid idza isytaghala ‘an nafsihi). Seluruh hidupnya hanya untuk Allah bukan yang lain. Imam Ghazali mengutip perkataan Abu Sulaiman al-Darani, “Allah memiliki hamba yang tak takut pada neraka dan tak berharap pada surga, maka bagaimana ia bisa disibukkan oleh urusan dunia” (inna lillah ‘ibadan laysa yusyghiluhum ‘an Allah khauf al-nar wa la raja’ al-jannah fakayfa yusyghiluhum al-dunya ‘an Allah). Abu Sulaiman al-Darani juga berkata, “Barangsiapa yang hari ini sibuk dengan dirinya, maka besok ia akan sibuk dengan dirinya. Sebaliknya, barangsiapa yang hari ini sibuk dengan Tuhannya, maka besok ia akan sibuk dengan Tuhannya”.
Namun, untuk menutup kemungkinan keliru, Imam Ghazali berkata bahwa orang yang meninggalkan harta benda tak dengan sendirinya disebut zuhud (anna tarika al-dunya zahidan wa laysa kadzalika). Sebab, menurutnya, meninggalkan hal-hal duniawi dan menampakkan kehinaan mudah bagi orang yang suka dipuja dengan kezuhudan. Imam Ghazali membuat tiga indikator kezuhudan seseorang. Pertama, orang zuhud adalah yang tak senang dengan apa yang ada pada dirinya dan tak menyesal dengan apa yang telah tiada pada dirinya (an la yafraha bi mawjud wa la yahzana ‘ala mafqud). Bahkan, menurutnya, yang bersangkutan menyesal dengan adanya harta benda dan bahagia dengan ketiadaannya. Inilah zuhud dalam soal harta benda (al-zuhd fi al-mal). Kedua, yang memuji dan yang mencaci memiliki kedudukan sama bagi orang zuhud. Inilah kezuhudan dalam soal kedudukan (al-zuhd fi al-jah). Ketiga, kesenangan dan kecintaan seseorang hanya kepada Allah. Dengan itu, Imam Ghazali menyimpulkan bahwa indikator kezuhudan adalah tak bedanya antara fakir dan kaya, mulia dan hina, pujian dan cacian karena orang zuhud berada dalam cinta penuh kepada Tuhan.
Tak hanya merujuk kepada mereka, asketisme Imam Ghazali mengakar cukup jauh hingga ke Nabi Isa. Menurut al-Ghazali, hidup zuhud itu tak ada ujungnya. Tapi kezuhudan Nabi Isa adalah pencapaian paling puncak yang pernah dicapai manusia. Alkisah, ketika Nabi Isa merebahkan kepala di atas batu, tiba-tiba setan lewat. Setan itu berkata, “bagaimana kamu bisa meninggalkan dunia sementara engkau merasa puas dan nikmat dengan sebongkah batu di dunia”. Nabi Isa mengambil batu dari bawah kepalanya lalu melemparkannya ke arah setan seraya berkata, “ambillah batu ini dan dunia!”. Al-Ghazali juga menceritakan bahwa Nabi Isa tak memiliki apa-apa kecuali sisir dan cangkir. Suatu ketika Nabi Isa melihat seseorang yang menyisir jenggot dengan jari-jarinya, lalu Nabi Isa membuang sisir tersebut. Di kala lain, Nabi Isa juga melihat seseorang yang meminum air dengan cangkir di tangan, maka Nabi Isa membuang cangkir tersebut.
Imam Ghazali, sekali lagi, mengutip Nabi Isa yang berkata bahwa kenikmatan dunia itu adalah jembatan, maka menyeberanglah. Seseorang bertanya kepada Nabi Isa, “bagaimana kalau engkau menyuruhku untuk membangun rumah sehingga di dalam rumah itu saya bisa beribadah kepada-Nya?”. Nabi Isa menjawab, “pergilah dan bangunlah rumah di atas air?”. Orang bertanya, “bagaimana bangunan bisa tegak di atas air?”. Nabi Isa menjawab, “bagaimana ibadah bisa tegak di atas cinta dunia” (kayfa tastaqimu ‘ibadatun ma’a hubb al-dunya). Belajar dari Nabi Isa, Imam Ghazali meninggalkan kemasyhuran sebagai sarjana yang menonjol dan meninggalkan kenikmatan dunia. Ia menarik diri dari ingar-bingar kehidupan publik dan memilih untuk menekuni disiplin spiritual dan menjalani hidup zuhud.
Dengan itu, tak keliru sekiranya para pengkaji tasawuf Islam menyimpulkan bahwa tasawuf Imam Ghazali bercorak khuluqi-amali. Ada juga yang berkata bahwa ada bagian-bagian dalam tasawuf Imam Ghazali seperti tercermin dalam Ihya’ Ulum al-Din yang mencerminkan corak tasawuf falsafi, di samping tentu saja terdapat bahasan yang bercorak khuluqi-amali. Walaupun harus diakui bahwa corak khuluqi-amali dalam tasawuf Imam Ghazali lebih kental ketimbang corak falsafinya. Beberapa pokok bahasan berikut dianggap sebagai doktrin pokok dan utama dari tasawuf Imam Ghazali.
Pokok Tasawwuf
Jika dilakukan penelaahan secara sistematis dan terstruktur terhadap kitab Ihya’ Ulum al-Din, maka akan ditemukan beberapa doktrin tasawuf pokok Imam al-Ghazali, yaitu tauhid, makhafah, mahabbah, dan ma’rifat. Dari ajaran-ajaran pokok ini lahir konsep taubat, shabr, zuhud, tawakkal, dan ridha. Tak bisa seseorang mengaku bertauhid sekiranya seseorang masih menduakan Allah dengan yang lain; misalnya tak bertawakkal kepada Allah, tak rela terhadap keputusan Allah, tak sabar atas ujian yang diberikan Allah, tak bersykur atas nikmat yang diberikan Allah, tak menjauhkan diri dari apa yang dilarang oleh Allah. Tak bisa seseorang mengaku takut kepada Allah, jika yang bersangkutan masih takut kepada selain Allah.
Pertama, Tauhid. Secara etimologis, tauhid adalah bentuk kata benda dari kata kerja “wahhada-yuwahhidu” yang berarti membuat sesuatu menjadi satu atau menyatakan kesatuan (ke-esa-an). Dalam Ilmu Kalam disebutkan bahwa tauhid berarti ikrar tentang tidak ada tuhan selain Allah. Dalam tasawuf, tauhid tak hanya merupakan ungkapan verbal tentang tidak adanya tuhan selain Allah, melainkan juga ungkapan hati tentang hakekat Tuhan Yang Satu. Al-Junaid al-Baghdadi menceritakan bahwa seorang ulama pernah ditanya tentang makna tauhid. Lalu ulama itu menjawab, tauhid adalah yakin. Penanya tersebut meminta agar sang ulama menjelaskan apa yang dimaksud dengan yakin itu. Ia menjelaskan, “pengetahuanmu bahwa gerak dan diam alam raya adalah pekerjaan Allah. Tak ada sekutu bagi-Nya. Apabila engkau melakukan (meyakini) itu, maka engkau telah meng-Esa-kan-Nya. Dalam kitab al-Rasa’il, al-Junaid menegaskan, “ketahuilah bahwa permulaan ibadah kepada Allah adalah mengenal-Nya (ma’rifatullah). Sementara pokokma’rifatullah adalah bertauhid kepada-Nya”.
Imam Ghazali menegaskan bahwa tanda bertumbuhnya tauhid di dalam hati adalah munculnya sikap tawakkal kepada Allah, yaitu menyerahkan segala urusan diri sendiri hanya kepada Allah. Imam Ghazali membagi tawakkal ke dalam tiga tingakatan. [a]. menyerahkan segala urusan kepada Allah, seperti penyerahan seseorang yang mewakilkan kepada pihak yang mewakili; [b]. segala urusan kepada Allah, seperti kepasrahan seorang anak kecil kepada ibunya. Si anak kecil hanya mengenal dan menyandarkan segala keadaan dirinya hanya pada ibundanya. Ia hanya meminta pada ibundanya. Bahkan, seorang ibu kerap memberikan susu sekalipun si kecil tak memintanya; [c]. menyerahkan segala gerak dan diam kepada Allah seperti gerak dan diam seorang jenazah di depan orang yang memandikan. Orang yang berada pada peringkat yang terakhir ini memandang dirinya sudah mati dan yang menggerakkan adalah Allah. Menurut Imam Ghazali, tawakkal peringkat pertama sangat mungkin terjadi, sementara peringkat kedua dan ketiga amat jarang terjadi.
Menurut Imam Ghazali, bagaimana seseorang mengaku bertauhid kalau yang bersangkutan masih percaya pada kekuatan lain di luar kekuatan Allah. Dengan tauhid dalam hati, demikian Imam Ghazali, akan muncul kesadaran bahwa tidak ada yang aktif bekerja selain Allah (la fa’ila illa Allah). Segala makhluk-alam raya ini muncul dari Dzat Yang Maha Pencipta. Jika kesadaran tauhid itu menguat, maka seseorang takut dan berharap hanya kepada Allah bukan kepada yang lain. Ia mengkritik seseorang yang berharap tumbuhnya tanaman pada hujan, berharap turunnya hujan pada awan, berharap bergeraknya bahtera pada angin. Imam Ghazali menyebut hal itu sebagai syirik dalam bertauhid dan sebagai wujud ketidak-tahuan tentang hakekat sesuatu (wa hadza kulluhu syirk fi al-tauhid wa jahl bi haqa’iq al-umur).
Imam Ghazali berpendirian bahwa tauhid adalah pangkal atau dasar dari seluruh doktrin dan ajaran tasawuf. Bagi Imam Ghazali, bahasan tauhid adalah lautan yang tak bertepi (bahr la sahila lahu). Untuk memudahkan, Imam Ghazali membagi tauhid ke dalam empat peringkat. [1]. Orang yang lisannya mengucapkan la ilaha illa Allah tapi hatinya melupakannya bahkan mengingkarinya. Iman yang seperti ini adalah keimanan yang pura-pura karena tak tembus ke dalam hati. Imam Ghazali menyebut ini sebagai tauhid orang-orang munafik. [2]. Kalimat tauhid yang diucapkan lisannya dibenarkan oleh hatinya. Pembenaran di hati ini menyelamatkan yang bersangkutan dari siksa di Akhirat. Inilah tauhid dan keyakinan orang awam. [3]. Melihat Tuhan Yang Satu pada segala sesuatu. Dengan perkataan lain, ia menyaksikan Allah ketika menyaksikan sesuatu. Inilah maqam al-muqarrabin (kedudukan orang-orang yang dekat kepada Allah). [4]. Bahwa wujud ini hanya satu, yaitu Allah (la yara fi al-wujud illa wahidan). Dalam peringkat ini, seseorang sudah tak melihat dirinya karena yang terlihat hanya Allah. Para sufi menyebut keadaan ini sebagai al-fana’ fi al-tauhid. Menurut Imam Ghazali, tauhid keempat ini sebagai tauhid puncak yang diintroduksi Husain ibn al-Manshur al-Hallaj.
Kedua, makhafah (ketakutan). Khauf-khifah-Makhafah adalah kata benda Arab dari kata kerja khafa-yakhafu yang berarti takut. Takut kepada Allah bisa dialami oleh setiap manusia. Ketakutan itu terjadi, menurut Imam Ghazali, bisa karena melihat dan menyaksikan keagungan Allah SWT dan bisa juga karena banyaknya dosa yang dilakukan seorang hamba pada Tuhannya. Rasulullah SAW pernah bersabda, “aku adalah orang di antara kalian yang paling takut kepada Allah” (ana akhwafukum lillah). Rasulullah juga bersabda, “pangkal kebijaksanaan itu adalah takut kepada Allah” (ra’su al-hikmah makhafah Allah). Dzun Nun al-Mishri pernah ditanya, “kapan seorang hamba dikatakan takut kepada Allah?”. Ia menjawab, ketika hamba merasa seperti orang sakit yang takut akan berlangsung terusnya penyakit yang diderita oleh yang bersangkutan. Imam Ghazali menegaskan bahwa orang yang dilanda ketakutan akut pada Allah akan terlihat pada kondisi tubuh, aktivitas fisik, dan gerak hatinya. Tubuh orang yang hatinya terbakar (ihtiraq al-qalbi) karena takut pada Allah akan panas dan matanya menitikkan air mata. Bersamaan dengan itu, seluruh aktivitas fisik yang bersangkutan akan terhindar dari perbuatan dosa. Dosa-dosa yang suka dilakukan serta merta ia benci.
Dengan demikian, menurut Imam Ghazali, orang yang mengaku takut kepada Allah tapi anggota badannya bergelimang maksiat, tak bisa disebut khauf (la yastahiqqu an yusamma khaufan). Fudhail ibn Iyadh, sebagaimana dikutip Imam Ghazali, pernah berkata, “jika ditanya kepadamu apakah anda takut kepada Allah?”. Fudhail berkata, “diamlah, sebab jika kamu menjawab ‘tidak’, maka kamu kafir. Dan jika berkata ‘ya’, maka kamu bohong”. Ini menunjukkan bahwa takut kepada Allah harus proporsional. Itu sebabnya, Imam Ghazali menolak ketakutan kepada Allah yang mengakibatkan hilangnya akal (zawal al-‘aql). Imam Ghazali mengutip Sahl yang berkata, “jagalah akal budimu karena tak ada seorang wali Allah yang kurang akal” [ihfadhu ‘uqulakum fa innahu lam yakun lillahi ta’ala waliyyun naqish al-‘aql]. Dengan ini, Imam Ghazali mengimbau bahwa takut kepada Allah harus dalam ukuran wajar, tak boleh melampaui batas. Ia berkata bahwa takut kepada Allah yang melampaui batas adalah perbuatan tercela (madzmum).
Ketiga, ma’rifah. Secara etimologis, ma’rifah kata benda berasal dari kata kerja ‘arafa-ya’rifu yang berarti mengetahui. Dengan demikian, ma’rifah berarti pengetahuan. Dalam ilmu tasawuf, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan yang tak mengenal keraguan, sebab yang menjadi obyeknya adalah Allah. Jika disebut ma’rifatullah, maka itu berarti pengetahuan tentang Allah. Sedangkan orang yang sudah mencapai ma’rifah disebut ‘arif. Kaum gnostik dalam tasawuf kerap disebut “al-‘arif billah” (orang yang mengetahui karena Allah). Menurut para sufi, alat untuk memperoleh ma’rifat disebut sir. Al-Junaid, sebagaimana dikutip Ibrahim Madzkur, membedakan antara ma’rifah dan ‘ilm. Menurut al-Junaid, jika ‘ilm diperoleh melalui eksplorasi akal, maka ma’rifah dicapai melalui penyucian hati (qalb). Abad ketujuh Hijriyah Ibn Arabi juga berkata bahwa pengetahuan ada dua; pengetahuan yang diperoleh melalui penyerapan langsung (al-ma’rifah), dan pengetahuan yang bersifat diskursif yang diperoleh melalui akal pikiran (al-‘ilm).
Imam Ghazali berkata bahwa ma’rifah adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui soal-soal ketuhanan yang mencakup segala yang ada [al-ithhila’ ‘ala asrar al-rububiyyah wa al-ilm bi tarattub al-umur al-ilahiyyah al-muhithah bi kulli al-mujudat]. Menurut Imam Ghazali, setiap ilmu adalah lezat dan kelezatan ilmu yang paling puncak adalah mengetahui Allah. Baginya, kelezatan ma’rifatullah (mengetahui Allah) jauh lebih kuat ketimbang jenis kelezatan lain. Menurut Imam Ghazali, orang yang sudah mencapaima’rifah tak akan memanggil-manggil Allah dengan “ya Allah” atau “ya Rabb”, karena memanggil Tuhan dengan cara itu menunjukkan bahwa Tuhan itu jauh, berada di balik tabir. Imam Ghazali membuat sebuah tamsil, orang yang sedang duduk dekat di hadapan temannya tak akan memanggil temannya itu. Imam Ghazali berkata, “hal ra’ayta jalisan yunadi jalisahu”. Dengan perkataan lain, orang yang merasa tentang jauhnya Tuhan akan terus memanggil Tuhan. Sebaliknya, orang yang merasa kehadiran Tuhan dalam dirinya akan berbisik kepada-Nya dalam hening dan diam.
Menurut Imam Ghazali, ciri orang yang ma’rifatullah, di antaranya, adalah keinginan untuk terus berjumpa dengan-Nya, bukan dengan yang lain. Ia mengenal secara lebih dekat dengan membangun komunikasi yang intens dengan-Nya. Imam Ghazali lalu menyitir Rabi’ah yang menegaskan bahwa dirinya tak punya kecenderungan pada surga melainkan pada pemilik surga itu. Dan barangsiapa yang tak mengenal Allah di dunia, demikian Rabi’ah, maka ia tak akan melihat Allah di akhirat. Orang yang tak menemukan kelezatan ma’rifah di dunia, maka ia tak akan menjumpai kenikmatan melihat Tuhan di Akhirat, sebab sesuatu yang tak bersamanya ketika di dunia, maka di akhirat tak akan dijumpainya.
Keempat, mahabbah. Secara etimologis, mahabbah yang berarti cinta adalah bentuk kata benda (bahasa Arab) dari kata kerja habba-yahibbu. Di samping menggunakan kata “mahabbah”, Imam Ghazali juga menggunakan kata “’isyq” yang berarti cinta dan rindu. Allah pun juga disebut sebagai “al-wadud” (Yang Mencinta dan Yang Dicinta). Imam Ghazali mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dasar metafisikal mahabbah. Misalnya Allah berfirman, “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya” (QS, al-Ma’idah [5]: 54). “Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku dan Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian” (QS, Ali Imran [3]: 31). Rasulullah SAW pernah berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah kepadaku untuk mencintai-Mu, mencintai orang yang mencintai-Mu, mencintai sesuatu yang mendekatkan aku pada cinta-Mu..”.
Cinta adalah benih yang bisa tumbuh pada tanah yang subur. Imam Ghazali menyitir pernyataan al-Junaid, “Allah mengharamkan cinta bagi orang yang hatinya terkait erat dengan dunia” [harrama Allah Ta’ala al-Mahabbah ‘ala shahib al-‘alaqah]. Orang yang mencintai sesuatu akan khawatir akan hilangnya sesuatu itu. Karena itu, demikian Imam Ghazali, para pecinta selalu dilanda kekhawatiran perihal hilangnya yang dicintai. Tapi mencintai Allah beda. Jika kita mencintai Allah, maka Allah abadi. Dan jika mencintai harta dunia, maka itu semua akan sirna. Imam Ghazali menjelaskan sebab-sebab terjadinya cinta. [1]. Kecintaan seseorang pada dirinya atas kesempurnaannya. Artinya, jika seseorang tak mencintai Allah atau sesamanya, maka ia pasti akan mencintai dirinya sendiri; [2]. Kecintaan seseorang pada orang lain yang berbuat baik pada dirinya; [3]. Kecintaan seseorang pada orang lain yang berbuat baik pada seluruh manusia sekalipun tak berbuat baik untuk dirinya; [4]. Kecintaan seseorang pada segala sesuatu yang indah, baik keindahan itu secara lahir maupun secara bathin; [5]. Cinta yang melanda dua orang yang memiliki hubungan dan keterkaitan batin. Dari semuanya itu, menurut Imam Ghazali, yang paling pantas dan berhak untuk dicintai adalah Allah SWT.
Persoalannya, bagaimana mengubah cinta ego pada diri sendiri menjadi cinta kepada Allah? Tak ada mekanisme dan tata cara tunggal. Imam Ghazali hanya mengutip dialog Sufyan al-Tsauri dengan Rabi’ah al-Adawiyah. Al-Tsauri berkata kepada Rabi’ah, “apa hakekat imanmu?” Ia menjawab, “saya tak menyembah kepada Allah karena takut pada neraka dan senang pada surga. Sebab, kalau begitu, maka saya akan seperti seorang buruh yang hanya menunggu upah dari majikan. Aku menyembah Allah atas dasar cinta dan rindu kepada-Nya”. Imam Ghazali mengutip Rabi’ah al-Adawiyah ketika ditanya tentang cintanya kepada Rasulullah SAW. Rabi’ah menjawab, “demi Allah, aku sangat mencintainya. Tapi, kecintaan pada Allah telah menyibukkanku sehingga tak tersisa ruang untuk mencintai makhluk-Nya” [wallahi inni lauhibbuhu hubban syadidan wa lakin hubb al-khaliq syaghalani ‘an hubb al-makhluqin]. Suatu hari Rabi’ah berkata, “siapakah yang bisa menunjukkan aku pada kekasihku?”. Perempuan pembantu Rabi’ah berkata, “kekasih kita sedang bersama kita tapi dipisahkan oleh urusan dunia”. Dengan itu, Rabi’ah menutup diri dari kehidupan publik dan hidup membujang. Rabiah menikmati kesendiriannya bersama Allah dan ia bahagia dalam kesendirian itu. Kehidupannya diisi dengan pujian kepada Allah SWT yang sangat dicintainya.
Berbeda dengan Rabi’ah yang memandang bahwa ma’rifat itu buah dari mahabbah, maka Imam Ghazali berpendapat bahwa mahabbah adalah buah dari ma’rifat. Menurut Imam Ghazali, tak akan ada mahabbah yang tak dimulai dengan ma’rifat. Dengan perkataan lain, jika ma’rifat adalah sebab, maka mahabbah adalah akibat. Baginya, seseorang tak bisa mencintai sesuatu yang belum diketahuinya. Selanjutnya, menurut Imam Ghazali cinta kepada Allah itu bisa terjadi dengan dua sebab, yaitu: [a]. memutus diri dari seluruh urusan duniawi dan membuang segala jenis cinta di dalam hati kecuali cinta kepada Allah. Hati manusia, demikian Imam Ghazali, ibarat wadah yang tak bisa diisi cuka selama di dalamnya masih penuh air. Ia lalu mengutip firman Allah tentang tak mungkinnya ada dua cinta dalam satu hati (ma ja’ala Allah li rajulin min qalbaini fi jaufih). [b]. kekuatan ma’rifatkepada Allah bisa menimbulkan cinta yang membara kepada-Nya.
Relevansi
Telah ratusan tahun Imam Ghazali meninggal dunia. Tapi, doktrin tasawufnya masih tetap relevan. Pertama, ia menghadirkan doktrin ajaran yang lembut dan santun bukan Islam yang keras dan ketus. Tuhan tak hanya dihadirkan sebagat Dzat yang tegas seperti yang umum dinyatakan para ahli fikih melainkan juga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Di tengah kecenderungan sekelompok umat Islam yang suka mendakwahkan Islam melalui jalur kekerasan, maka doktrin tasawuf yang disuguhkan Imam Ghazali adalah relevan. Dalam pandangan Imam Ghazali, sekiranya Tuhan adalah Sang Kekasih, maka manusia adalah Salik, yaitu orang yang sedang berjalan menuju kepada Tuhan.
Kedua, tangga-tangga kehidupan intelektual yang dititi Imam Ghazali memberi pelajaran dalam proses penemuan kebenaran. Sejauh yang bisa dibaca dalam autobiografinya, ia tampaknya tak menjatuhkan diri menjadi sufi sejak awal. Jauh sebelum menulis buku-buku tasawuf seperti Ihya’ Ulum al-Din, Imam Ghazali menekuni dan malang melintang dalam usaha pengembangan berbagai disiplin ilmu, seperti logika-filsafat, fikih-ushul fikih, dan teologi-kalam. Dan untuk itu, ia menulis puluhan bahkan ratusan buku. Namun, ia tak menemukan kepuasan hingga akhirnya melabuhkan diri dalam tasawuf. Ini menunjukkan bahwa “kebenaran” yang berhasil dijumpainya tak “sekali jadi” dan tak serta merta datang. Ia menempuhnya melalui proses panjang bahkan berliku, tapi ia tak putus asa untuk mencari kebenaran itu. Semangat dan ketekunan mengembara secara intelektual ini mestinya diteladani kaum terpelajar Islam sekarang.
Ketiga, kitab Ihya’ Ulum al-Din ini ditulis untuk mengurangi dosis formalisme-legalisme dalam tubuh umat Islam saat itu. Formalisme dalam ber-Islam dikhawatirkan Imam Ghazali akan menghilangkan sisi moral-etis ajaran. Ini karena Imam Ghazali gusar dengan kian merosotnya moral-etis para ulama saat itu. Baginya, ilmu-ilmu keislaman bukan alat untuk mengejar kepentingan-kepentingan dunia seperti untuk meraih popularitas dan kedudukan (li nayli al-syuhrah wa al-jah), melainkan untuk membangun keluhuran akhlak dan kebersihan hati. Itu sebabnya, dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, ia tak ragu mengkritik ulama su’ (ulama culas) yang menjadikan ilmunya sebagai barter untuk mendapatkan tahta dan kekayaan.
Keempat, secara doktrinal, tasawuf Imam Ghazali bisa memberikan solusi terhadap kecenderungan masyarakat modern yang merasa terasing dan secara psikologis menderita dalam keterasingan itu. Yang satu merasa terancam oleh yang lain baik secara sosial maupun secara ekonomi dan politik. Orang lain dianggap sebagai musuh. Padahal, tak ada yang lebih dibutuhkan pada masa kini kecuali kemampuan untuk memperlakukaan orang lain sebagai diri kita sendiri dan bukan sebagai lawan. Imam Ghazali mengajak kita untuk menyeimbangkan aktivitas jasmani dengan kontemplasi ruhani. Renungkanlah, dengan mencinta Allah, kita akan mencintai hamba-hamba Allah.
Penutup
Imam Ghazali tak hanya menjalankan tindakan-tindakan sufi, melainkan juga menulis buku-buku tasawuf. Karyanya yang paling gemilang di bidang ini adalah Ihya’ Ulum al-Din. Sejauh yang bisa dilihat dari karyanya ini, diketahui bahwa corak tasawuf al-Ghazali lebih dekat kepada tasawwuf khuluqi-‘amali ketimbang tasawwuf falsafi. Tak hanya bersandar kepada al-Qur’an dan Hadits yang menjadi ciri kuat tasawuf khuluqi-‘amali (kerap juga disebut tasawwuf sunni), melainkan juga al-Ghazali menuliskan pengalaman spiritual individualnya dalam buku ini. Dengan demikian, para pembaca kitab Ihya’ Ulum al-Din tak hanya dibuka wawasan sufistiknya dengan sejumlah perujukan kepada al-Qur’an dan Hadits, melainkan juga akan diperkaya dengan penjelasan-penjelasan spiritual yang bertumpu pada pengalaman batin al-Ghazali. Inilah yang menyebabkan kitab Ihya’ Ulum al-Din menjadi beda dari yang lain [...]
EmoticonEmoticon