Asap hitam tebal bergulung-gulung di langit. Dirgantara gelap gulita. Matahari tertutup, hilang panasnya. Bulan tertutup, hilang cantiknya. Apalagi bintang-bintang (sinetron). Tapi di sana, Presiden Jokowi melihat lokasi untuk merumus kebijakan. Melihat lokasi kebakaran, dengan asap hitam tebal yang bergulung-gulung itu tidak ada hubungannya dengan pencitraan. Tapi, kau dituduh begitu, ”yo rapo-po”.
Kebakaran yang menelan hutan-hutan itu pun menimbulkan keprihatinan, bukan di hati rajanya raja dewa, tetapi hatinya Presiden Jokowi. Presiden segera turun ke daerah-daerah untuk melihat sendiri kerusakan itu secara langsung.
”Bumi sudah tua?”
Ya, mungkin bumi sudah tua. Dalam ketuaannya mungkin daya tahannya menjadi lemah. Gangguan sedikit mudah membuatnya tidak stabil. Lalu timbul guncangan demi guncangan. Dan, tiap kali bumi terguncang, kita, yang menumpang hidup di bagian kulitnya, selalu berhadapan dengan risiko. Tiap guncangan membawa bencana.
Kita menerima warisan ketuaan ini hampir tanpa sikap yang jelas. Kita tak pernah merisaukan ketuaan bumi, Ibu Pertiwi, ibu kita, dengan kehati-hatian. Perubahan iklim global, yang mungkin membuat bumi yang sudah tua menjadi lebih tua, tak pernah kita gubris.
Mungkinkah ini menjadi bukti bahwa manusia tak mampu mengelola bumi yang hanya satu ini? Mungkinkah ini meneguhkan kecemburuan pada khalifah bakal diciptakan bahwa di bumi itu kelak khalifah tersebut, yaitu manusia, hanya akan menumpahkan darah seperti disebut di dalam kitab?
Ini pertanyaan ruwet. Mungkin kita ini ibaratnya seperti seorang anak yang tak lagi mampu, atau peduli, menunjukkan sikap hormat kepada ibu kita sendiri yang telah menjadi tua.
Di bumi terlalu banyak tangan. Juga, terlalu banyak kemauan. Dan, berbagai jenis keserakahan. Ada tangan yang bersedia mengatur dengan baik, tetapi tak kurang-kurangnya tangan yang siap membuat kerusakan.
Kita tak peduli pesan dalam kitab: ”Janganlah membuat kerusakan di bumi”. Kita memangkas gunung tinggi, yang menjilat mega-mega, seolah ketinggiannya menyentuh langit, hingga habis tandas. Kemudian kita gali dalam-dalam, hingga di bumi ke tujuh, dan keguncangan alam terjadi. Tapi, kita tetap membisu-tulikan diri bahwa bumi rusak bukan karena ulah kita.
***
Jika ada yang masih ingat akan kemungkinan bahaya itu, dan menyampaikan peringatan agar kita mengendalikan sedikit nafsu menghancurkan itu, tangan serakah itu tak peduli. Malah jawabnya begitu angkuh: haruskah kita kembali ke zaman batu, yang dingin dan beku, untuk membiarkan kekayaan alam tetap terpendam?
Bukankah kita mengolah alam, menggali tambang, memotong pohon-pohon di hutan, untuk kesejahteraan kita? Ketika ditanyakan kepadanya, siapa yang dimaksud ”kita” di sini, niscaya dia tak pernah tahu apa jawabnya. Kita itu maksudnya para penambang, para pemilik hak pengusahaan hutan, yang datang dari negeri-negeri kaya, maju, dan bermodal. Mereka merampok gunung-gunung kita dan hutan-hutan kita, dan kita hanya kebagian deritanya.
Kita tidak membuat bumi ini lestari. Kita memangkas gunung dan menggali bumi sampai sedalam-dalamnya tanpa mengingat bahwa kita sedang menghancurkan bumi. Kita membabat semua hutan, setandas-tandasnya, hingga hutan-hutan kita menjadi gundul. Kayu-kayu habis. Hanya padang rumput, padang ilalang, dan semak-semak yang tersisa. Pada musim kemarau, padang rumput, padang ilalang, dan semak-semak itu kering kerontang. Ibaratnya gesekan ranting dengan ranting yang menimbulkan api mudah membikin kebakaran yang melahap segalanya dalam waktu pendek.
Apalagi ada tangan-tangan jahil yang sengaja membakarnya. Di suatu tempat rumput, ilalang, dan semak-semak kering itu dibakar. Lalu, di tempat lain dibakar lagi. Betapa mudahnya membuat kehancuran di muka bumi.
Di dalam tradisi sastra pedalangan, digambarkan terjadi suatu ”goro-goro”, yang ditandai ”tanah retak-retak, debu tertiup angin/ kemarau panjang tanpa setetes pun air, hujan angin dan badai di musim yang salah/ air laut bergejolak bagaikan siap menelan daratan/akibat besarnya pengaruh ”goro-goro” tanah longsor, gunung tabrakan dengan sesama gunung.”
Dalam keguncangan mahadahsyat itu, seperti apa manusia? Tak tergambarkan. Dewa-dewa pun kalang kabut. Rajanya para raja dewa segera mengambil ”cupu manik Astagina”, berisi air kehidupan. Diteteskan pada bumi yang terkena ”goro-goro” itu dan seketika keguncangan terkendali. Bumi menjadi aman kembali.
Kebakaran yang menelan hutan-hutan itu pun menimbulkan keprihatinan, bukan di hati rajanya raja dewa, tetapi hatinya Presiden Jokowi. Presiden segera turun ke daerah-daerah untuk melihat sendiri kerusakan itu secara langsung.
Ada orang daerah yang membawanya ke tempat-tempat kebakaran, di mana ada para petugas yang sedang sibuk memadamkannya. Di sana digambarkan bahwa pemerintah daerah sangat bertanggung jawab terhadap bencana agar tak menjadi semakin besar. Orang-orangnya ditugaskan untuk menanganinya di lokasi kejadian.
Presiden Jokowi bergembira. Dia menunjukkan sikap senang bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab. Oh, betapa gembira hati sang Presiden. Komentar bermunculan. Ada yang menyebut sang Presiden turun ke lapangan sekadar untuk membuat suatu pencitraan supaya nama baiknya terjaga, supaya citranya sebagai presiden terpelihara.
Kritik, atau lebih tepat caci maki itu, merebak. Pencitraan ditempelkan di dada Presiden Jokowi. Tapi, kelihatannya sang Presiden tak begitu risau. Seperti yang dulu-dulu, dalam hatinya pasti berkata: ”rapopo”. Para pengejek makin berani.
Tapi, bagaimana sebuah pencitraan dibuat untuk menjaga nama baik dan demi keuntungan politiknya kalau ternyata sang Presiden sebenarnya tak terlalu percaya pada pemerintah daerah yang terbukti cuma omong kosong?
***
Perlu dicatat, Presiden tidak membawa gitar, tidak bernyanyi- ria di tengah bencana yang menerkam negerinya. Dia datang dengan persiapan serius. Dan, suasana serba panas dan berasap tebal yang bergulung-gulung ke langit itu tak menarik hatinya untuk membuat puisi atau lagu. Tak usah dibuat puisi, ini sudah menjadi sebuah puisi. Tak perlu dibuat lagu, ini sudah jelas sebuah lagu penuh derita bagi rakyatnya. Puisi alam jauh lebih jujur, lebih liris, lebih menyentuh dibanding puisi yang dibuatbuat. Lagu yang tercipta oleh alam semesta, siapa bisa menandingi keindahannya?
Dia tahu, Presiden tak diharapkan menulis puisi, apalagi kalau puisinya jelek sekali. Di antara jutaan rakyatnya, tidak ada yang mengharap sang Presiden membuat sebuah lagu karena tugas utamanya menyaksikan sendiri, ”on the spot”, dengan ketulusan, tanpa gaya, tanpa dibuat-buat. Dia juga tidak ingat akan apa gunanya citra dan pencitraan.
Dia melihat kembali lokasi yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah tadi pada kesempatan lain. Di sana, ternyata, hanya ada kebakaran hutan yang sedang mengamuk, dengan asap hitam tebal yang bergulung-gulung menjilat langit. Dan, para petugas pemadam yang ditugaskan oleh pemerintah daerah itu lenyap. Tidak ada yang peduli bahwa hutan terbakar habis.
Petugas tersebut hanya manusia buatan. Mereka sedang ber-”acting” atas arahan sutradara yaitu pemerintah daerah setempat. Mereka ber-”acting” di depan pimpinan tertinggi. Merekalah, yaitu orang-orang di dalam pemerintahan daerah tersebut, yang sedang bermain citra dan membuat pencitraan.
Dan, Presiden yang dituduh sedang melakukan pencitraan itu?
Kata penyanyi beken Ebiet G Ade: ”tanyakan pada rumput yang bergoyang”.
Kata Presiden Jokowi? ”rapopo”.
Asap hitam tebal bergulung-gulung di langit. Dirgantara gelap gulita. Matahari tertutup, hilang panasnya. Bulan tertutup, hilang cantiknya. Apalagi bintang-bintang (sinetron). Tapi di sana, Presiden Jokowi melihat lokasi untuk merumus kebijakan. Melihat lokasi kebakaran, dengan asap hitam tebal yang bergulung-gulung itu tidak ada hubungannya dengan pencitraan. Tapi, kau dituduh begitu, ”yo rapo-po”.
KORAN SINDO, 3 November 2015
Mohamad Sobary | Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
EmoticonEmoticon