Oleh: Jakob Sumardjo
Untuk itulah seruan perlu revolusi mental dan revolusi spiritual ditujukan. Rakyat tidak perlu revolusi lagi karena hati nurani rakyat itu di mana pun baik adanya. Mereka yang mau menduduki jabatan-jabatan penting negara, atau mereka yang mendapat gaji dari negara, harus merevolusi mental dan spiritualnya. Yang bisa mengubah secara total dan radikal mental dan spiritualnya tak lain adalah diri mereka sendiri.
Manusia adalah tindakannya. Perbuatan manusialah yang mengubah diri dan lingkungan hidupnya, bukan kata-kata dan pikirannya.
Keinginan dan pemikiran tak mengubah kehidupan, kecuali Anda mewujudkannya dalam tindakan. Anda mungkin menguasai pengetahuan filosofis, normatif, historis mengenai apa yang baik dan tidak baik. Namun, selama Anda pendam dalam kepala saja, tak akan ada perubahan, kecuali Anda bertindak dengan mengajarkannya pada orang lain. Lebih bagus lagi diterjemahkan dalam tingkah laku.
Lebih baik tahu sedikit mengenai apa yang baik dan tidak baik, tetapi Anda jalankan pada setiap kegiatan. Perbuatan itulah kata-kata Anda, ajaran Anda.
Dengan demikian, pikiran dan kata-kata bukan hal utama. Yang utama justru keinginan, niat, dan tekad yang diwujudkan dalam tindakan. Masyarakat Jawa menamakannya niat, ilmu, dan laku, sedangkan Sunda menyebutnya tekad, ucap, lampah. Masyarakat kuno kita menyebutnya hedap, sabda, bayu: will, mind, power. Itulah tripartit mental manusia.
Bahwa mental semacam itu ada pada manusia, sebenarnya berkualitas spiritual. Ajaran kuno dalam kitab Sunda, Sewaka Darma, menyebutkan bahwa tripartit tekad-ucap-lampah itu adalah Sang Hyang Hidup itu sendiri. Kitab ini menggambarkannya seperti ini: kalau tidak ada penonton, kalau tidak ada dalang, panggung sunyi sepi ibarat raga tanpa jiwa; lebih tidak berharga lagi kalau ditinggalkan tekad, ucap, lampah; sama saja ditinggalkan oleh Sang Hyang Hidup.
Gejala hidup yang utama adalah gerak. Orang Jawa mengatakannya sebagai wong mati ora obah (orang mati tidak bergerak). Tetapi, Leonardo da Vinci menimpali bahwa tanpa tenaga (energi) tidak ada gerak. "Dengan demikian, tenaga adalah esensi spiritual," kata seniman Renaisans yang serba bisa ini.
Mengacu pada omongan- omongan ini, maka perbuatan manusia mengandung hakikat spiritual. Dari gerak perbuatanlah manusia diketahui nilai spiritualnya. Apakah perbuatan itu digerakkan niatnya yang baik atau tidak baik. Niat baik memproduk perbuatan baik. Meski demikian, niat yang baik tidak selalu menghasilkan perbuatan baik, kalau pikiran dilibatkan.
Dalam folklor Si Kabayandikisahkan Si Kabayan sedang dicukur oleh tukang cukur onder de boom (di bawah pohon, tukang cukur murah). Si tukang cukur berniat baik, yakni menghibur langganan dengan bercerita selama mencukur. Ceritanya tentang matinya Gatotkaca dalam Baratayuda. Kabayan jengkel karena niatnya dicukur secara cepat dan tak suka dengar cerita. Kata Kabayan: pendekan (ceritanya). Tetapi, si tukang cukur menangkap maksud itu sebagai: pendekan (potongan rambutnya). Ketika terakhir kalinya Kabayan membentak: pendekan!!, jawab tukang cukur: dipendekkan apanya lagi, Kabayan, ini sudah gundul!
Pikiran, kata-kata, bisa menyesatkan. Itu sebabnya, dalam ruang-ruang pengadilan sering terjadi tragedi: orang tak berbuat salah dihukum berat, sedangkan yang berbuat jahat malah bebas. Pengadilan adalah perang kata-kata, adu pikiran, sehingga yang berniat baik justru dikalahkan oleh yang berniat jahat.
Begitu pula dalam kehidupan politik, terjadi perang kata-kata, perang argumentasi, yang boleh jadi bertolak dari niat tidak baik. Keputusannya pun kelak tentu saja tak baik. Pengacara yang baik itu yang bagaimana? Yang selalu memenangi perkara atau yang niatnya baik membela keadilan? Apakah niat Anda mewakili rakyat ingin membela kepentingan orang banyak atau karena gajinya seratus kali lipat gaji PNS? Tidak ada yang menjawab, karena jawabannya ada di lubuk hati nurani Anda. Spiritual Anda.
Revolusi mental atau revolusi hati nurani? Berbahagialah mereka yang berkeinginan baik. Di tengah zaman yang materialistik dan hedonistik ini, keinginan manusia terpusat pada kekayaan dan kenikmatan. Karena negara tak kunjung mampu mewujudkan kemakmuran rakyatnya sejak kemerdekaan 70 tahun lampau, maka cara apa saja (pikiran) dapat ditempuh. Cara paling mudah menduduki jabatan-jabatan negara. Negaralah yang menguasai kekayaan bangsa.
Untuk itulah seruan perlu revolusi mental dan revolusi spiritual ditujukan. Rakyat tidak perlu revolusi lagi karena hati nurani rakyat itu di mana pun baik adanya. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Mereka yang mau menduduki jabatan-jabatan penting negara, atau mereka yang mendapat gaji dari negara, harus merevolusi mental dan spiritualnya. Yang bisa mengubah secara total dan radikal mental dan spiritualnya tak lain adalah diri mereka sendiri.
Sejarah Kekaisaran Tiongkok, sejak dinasti Han sampai Manchu, menunjukkan: birokrasi pemerintahan yang korup akan menimbulkan pemberontakan yang didukung rakyat. Rakyat hilang kesabaran menyaksikan tingkah laku penyelewengan, pemerasan, penyalahgunaan, dan manipulasi birokrasi negara yang hanya memakmurkan para pejabatnya. []
KOMPAS, 29 Oktober 2015
Jakob Sumarjo | Budayawan
EmoticonEmoticon