Sunday, August 23, 2015

Proxy War (2)

Oleh: Azyumardi Azra

Kaum Muslimin Indonesia sepatutnya mewaspadai bahaya proxy war  bernuansa agama. Semestinya pula, kalangan kaum Muslimin Indonesia tidak menjadi kaki tangan paham dan praksis keagamaan negara-negara lain; dan tidak menjadikan Indonesia sebagai kancah konflik dan kekerasan. Ini juga berlaku bagi kelompok aliran dan denominasi agama-agama lain di Tanah Air.

Apakah Indonesia bisa terkena imbas proxy war yang terus berkecamuk di negara-negara di Dunia Arab dan Asia Selatan atau Asia Barat Daya? Seberapa besar potensi munculnya proxy war di Indonesia umumya dan intra-umat Islam Indonesia atau antar-agama di Indonesia?

KSAD Gatot Nurmantyo (kini Panglima TNI) berulang kali menyatakan tentang bahaya terjadinya proxy war di Tanah Air. Menurut Jenderal Gatot, cadangan enerji dunia kini tersisa untuk 45 tahun saja. Karena itu, berbagai negara berlomba menguasai sumber enerji yang kian langka. Ia melihat sekitar 70 persen konflik di dunia—yang sebagian menjadi perang terbuka—berlatarbelakang perebutan enerji. Indonesia yang masih kaya dengan sumber alam juga menjadi sasaran perebutan. Karena kini tidak mungkin lagi dilakukan kolonialisasi, cara yang mereka tempuh adalah melalui proxy war.

Dalam konteks itu, menurut Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, beragam cara dilakukan dalam proxy war untuk menguasai Indonesia. “Mulai dari pembentukan opini untuk rekayasa sosial, perubahan budaya, adu domba TNI-Polri, pecah-belah partai, dan penyelundupan narkoba”, tegasnya.

Terlepas dari pernyataan yang khas bernada sekuriti, substansi pesannya sudah jelas. Indonesia yang demikian besar—yang di luar dugaan dan mispersepsi banyak kalangan asing—telah mampu bertahan mencapai 70 tahun kemerdekaan pada 2015. Meski masih ada potensi disintegrasi, misalnya terkait Papua, belum  terlihat tanda dan indikasi meyakinkan tentang bahaya proxy war yang dapat menghancurkan Indonesia bersatu.

Walaupun demikian, bahaya proxy war tetap harus diwaspadai. Bahaya itu terkait tidak hanya dengan perebutan sumber enerji, peningkatan jumlah penduduk dunia, kerawanan cadangan pangan misalnya, tetapi juga dengan kehidupan keagamaan. Indonesia yang demokratis dan terbuka telah menjadi ruang terbuka lebar untuk kontestasi berbagai aliran agama—baik intra maupun antar-agama—yang jika tidak diwaspadai dapat menimbulkan proxy war.

Proxy war terkait sektarianisme aliran atau mazhab atau denominasi intra agama bukan tidak mungkin terjadi. Tidak ada agama manapun di Indonesia atau tempat lain di muka bumi yang bersifat monolitik. Sebaliknya terdapat bermacam aliran dan denominasi seperti misalnya bisa terlihat dalam Islam Indonesia dan Kristen (Protestan) yang bisa terlibat dan kontestasi yang disponsori negara asing.

Agama yang disebut terakhir mengandung banyak denominasi atau gereja berorientasi transnasional.  Ada gereja yang karena sejarah dan doktrin berorientasi ke negara-negara Eropa tertentu; juga ada yang berorientasi ke Protestanisme Amerika yang agresif. Kasus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara yang juga menutup Gereja Advent—selain menyerang jamaah Muslim yang sedang shalat Idulfitri 1436--misalnya mengindikasikan kontestasi intra dan sekaligus antar-agama, yang memiliki warna transnasional yang mengandung warna proxy war.

Islam Indonesia juga jelas tidak monolitik, tetapi mengandung berbagai aliran paham dan praksis keislaman yang dalam batas tertentu berbeda satu sama lain. Meski ada perbedaan dan keragaman, umat Islam Indonesia hampir sepenuhnya mengikut  Sunni (ahl al-sunnah wa al-jama’ah). Belakangan sejumlah kecil Muslim  Indonesia juga menganut pemahaman dan prasis keislaman Syiah.

Perbedaan dalam pemahaman dan praksis di kalangan Sunni terwujud dalam ormas-ormas Islam cukup banyak di negeri ini sejak dari Muhammadiyah, NU, Jami’at Khair, al-Irsyad, DDII, al-Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, al-Khairat, Hidayatullah dan sebagainya. Masing-masing ormas memiliki sektarianisme tertentu dalam pemahaman dan praksis keagamaan, meski lebih terkait hal bersifat furu’iyyah (‘ranting’), bukan hal  pokok (ushul).

Meski ada perbedaan dalam soal furu’iyah, para pendukung ormas-ormas Islam arus utama (mainstream) beserta jutaan Muslim Indonesia lain memegangi Islam wasathiyah—Islam jalan tengah yang inklusif, toleran dan damai. Tidak pernah terjadi konflik fisik yang lama dan luas di antara para anggota dan pendukung ormas-ormas jalan tengah satu sama lain. Islam Indonesia tidak memiliki sejarah perang sektarianisme keagamaan signifikan.

Walaupun demikian, ada pula kalangan Sunni Indonesia berorientasi trans-nasional yang berusaha mengubah tradisi Islam wasathiyah Indonesia. Mereka tergabung dalam berbagai kelompok Salafi dan Wahabi, Jamaat Tabligh dan semacamnya. Walau mereka belum berhasil secara signifikan, tetapi pendekatan dan cara dakwah mereka bukan tak menimbulkan ketegangan dan konflik yang jika tidak diwaspadai dapat bermuara pada proxy war.

Kelompok-kelompok terakhir ini bahkan memiliki potensi besar terlibat proxy war dengan kaum Syiah Indonesia. Beberapa kasus kekerasan terhadap pengikut Syiah di Bangil dan Sampang Madura memperlihatkan adanya nuansa proxy war di antara Iran (Syiah) dan Arab Saudi (Wahabisme).

Kaum Muslimin Indonesia sepatutnya mewaspadai bahaya proxy war  bernuansa agama. Semestinya pula, kalangan kaum Muslimin Indonesia tidak menjadi kaki tangan paham dan praksis keagamaan negara-negara lain; dan tidak menjadikan Indonesia sebagai kancah konflik dan kekerasan. Ini juga berlaku bagi kelompok aliran dan denominasi agama-agama lain di Tanah Air. []

REPUBLIKA, 20 Agustus 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bidang sejarah dan anggota Council on Faith, World Economic Forum Davos


EmoticonEmoticon