Oleh: Mohamad Sobary
”Merdeka!” ”Merdeka!” Orang yang pertama kali berteriak” merdeka” tadi tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Orang yang menjawab ”merdeka” berikutnya adalah seorang pejabat negara, yang seluruh mentalitasnya tak bergeser satu inci pun dari jiwa Orde Baru. Ciri jiwa Orde Baru itu memutlakkan apa yang tidak mutlak. Kalau orang berpikir di luar garis itu dianggap subversif dan musuh Pancasila yang wajib dihabisi. Jiwa Orde Baru juga tampak selalu penuh semangat menyucikan apa yang tak suci.
Kalau sikap serbamutlak dan serbasuci ini diucapkan oleh orang yang pada zaman itu tinggi sekali kedudukannya, apalagi ”yang tertinggi”, jelas niatnya untuk meneguhkan ideologi pemerintah agar sepanjang masa dia berkuasa tidak muncul jenis ideologi lain yang dianggap mengancam kedudukannya. Sebaliknya, jika sikap itu tadi diucapkan oleh bawahan, boleh jadi dia bermaksud menjilat atasannya.
Di hari kemerdekaan kedua tokoh itu bersalaman dan saling mengucapkan selamat. Tiba-tiba muncul tokoh lain, akademisi, pemikir, aktivis yang kritis. Dia bertanya: ”Apa betul kita sudah merdeka?” Geledek menyambar di siang bolong musim kemarau yang terik. Orang lain tidak mendengarnya selain sang pejabat negara, yang segera naik pitam. Matanya berkilat-kilat penuh kejengkelan dan rasa dengki.
Kalau di depannya ada seonggok jerami kering, pastilah jerami itu terbakar oleh kilat di matanya. ”Saudara ini bangsa Indonesia apa bukan?” katanya. Ini jelas bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. ”Menurut Bapak bagaimana?” ”Sebagai orang Indonesia saudara itu tidak tahu diri,” sang pejabat negara memuntahkan kemarahannya. Tokoh PDIP itu seorang wartawan senior, yang tiba-tiba merasa memperoleh hiburan pada saat kita sedang merayakan hari kemerdekaan kita.
Tokoh ini tersenyum gembira melihat kedua orang itu bersitegang. ”Saya bertanya dengan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan,” jawab sang akademisi dan aktivis itu. ”Tanyalah pada sahabat kita ini,” sang pejabat menoleh ke arah tokoh PDIP di sebelahnya.
”Kepada dia saya tak perlu bertanya karena saya tahu bahwa bagi para tokoh PDIP teriak merdeka itu artinya bukan merdeka sebagaimana Anda maksudkan. Bagi orang seperti Anda, kata merdeka, atau teriak merdeka artinya merdeka sebagai kata keadaan. Bagi Anda merdeka ya merdeka. Apa yang Anda sebut kemerdekaan itu sesuatu yang sudah jadi, dan tak perlu dipertanyakan kembali.” ”Apa Anda kira bagi tokoh PDIP ini bukan begitu pula keadaannya?” sang pejabat makin marah.
”Lain. Jelas lain. Bagi dia kemerdekaan itu kata kerja. Dia berteriak merdeka bukan karena kita sungguh-sungguh sudah merdeka. Teriakannya berarti sebuah ajakan, agar kita terus bekerja, tak henti-hentinya, menciptakan kemerdekaan.” ”Apa lagi yang mau diciptakan, ketika kemerdekaan sudah di tangan?” sang pejabat makin menyerang.
”Menurut Anda, apa makna kata Bung Karno, ketika setiap kali pejuang bangsa ini menyatakan bahwa revolusi belum selesai?” Pejabat negara itu terdiam. Dia bingung. Itu bagus sekali karena seorang penerus Orde Baru yang memutlakkan apa yang tak mutlak tiba-tiba masih bisa merasa bingung. Sementara itu, tokoh PDIP tadi sungguh merasa tersanjung. Dia heran, kok ada orang yang bukan PDIP tapi tahu tentang PDIP sebaik ini.
***
Sekarang, dunia sudah memiliki nabi-nabi, dan rasul-rasul baru yang berkhotbah tentang segenap kemuliaan dan keagungan manusia. Mereka mengajari kita cara-cara membangun peradaban yang nyaris sempurna, bahkan lebih sempurna dari ajaran nabi-nabi dan rasul-rasul masa lalu yang tak lagi kita dengar suaranya. Apakah ini tanda kemerdekaan jiwa manusia dan suatu bangsa? Apakah teriak ”merdeka” berarti merdeka sebagaimana arti kata itu sendiri?
Bagi orang yang terlatih memutlakkan apa yang tak mutlak, pertanyaan ini haram untuk hadir di depan matanya. Ungkapan patriotik, ”revolusi belum selesai” baginya tak punya makna apa pun. Sebaliknya, bagi orang-orang yang menjalankan ajaran ”iqra ”, dia menganggap ungkapan ”revolusi belum selesai” menjadi makin relevan, makin menggugah semangat membela kepentingan bangsanya yang dicaplok buaya besar yang mulutnya menganga siang malam.
Di sekolah, seperti kita semua tahu, ada lagu Hari Merdeka (17 Agustus 1945) , yang dihafal luar kepala oleh setiap murid. Tapi Dr Anas Saidi dari LIPI mempunyai humor menyegarkan. Dia bilang, di suatu sekolahadaanakyangmenyanyidi depan kelas. Lagunya menyimpang dari kelaziman: ”16 Agustus tahun empat lima”.
Gurunya menoleh kaget dan membetulkannya. Tapi anak itu terus menyanyi lagi dengan caranya. Tapi guru itu orang bijaksana. Dibiarkannyamuridnyamenyanyi dengan pembukaan ”16 Agustus tahun empat lima. Besoknya hari kemerdekaan kita.” Sang guru dan murid-murid lain tertawa semua. Ini lelucon terbaik di dalam kelas, hasil sebuah kemerdekaan berkreasi.
Hanya manusia yang merdeka sejati yang berani berkreasi. Kalau segala persoalan sudah mutlak, kreasi tak diperlukan lagi. Kebebasan berkreasi malah dianggap ancaman dan subversi yang wajib dihabisi seperti disebut di atas. Guru ini mungkin memang tipe manusia merdeka semerdeka- merdekanya.
Sang murid kelak akan sebijaksana gurunya. Dia tak bakal memutlakkan apa yang nisbi, dan tak bakal menyucikan apa yang kotor, najis, dan penuh dosa seperti mentalitas Orde Baru. Ketika dia menyanyi besoknya hari kemerdekaan kita, baik untuk dicatat di sini bahwa merdeka baru akan terjadi besok, bukan sekarang. Jadi, hari ini baginya belum merdeka. Saya tidak tahu dari mana sumbernya sumber lagu kreatif ini.
Dr Anas Saidi hanya menceritakan kembali humor tersebut. Tapi kita tahu, humor tidak pernah berhenti hanya pada humor. Di balik humor ada kandungan serius dan mendasar. Merdeka yang baru akan terjadi besok itu apa bedanya dengan ungkapan serius seorang pejuang patriotik sejati: ”revolusi belum selesai?” []
”Merdeka!” ”Merdeka!” Orang yang pertama kali berteriak” merdeka” tadi tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Orang yang menjawab ”merdeka” berikutnya adalah seorang pejabat negara, yang seluruh mentalitasnya tak bergeser satu inci pun dari jiwa Orde Baru. Ciri jiwa Orde Baru itu memutlakkan apa yang tidak mutlak. Kalau orang berpikir di luar garis itu dianggap subversif dan musuh Pancasila yang wajib dihabisi. Jiwa Orde Baru juga tampak selalu penuh semangat menyucikan apa yang tak suci.
Kalau sikap serbamutlak dan serbasuci ini diucapkan oleh orang yang pada zaman itu tinggi sekali kedudukannya, apalagi ”yang tertinggi”, jelas niatnya untuk meneguhkan ideologi pemerintah agar sepanjang masa dia berkuasa tidak muncul jenis ideologi lain yang dianggap mengancam kedudukannya. Sebaliknya, jika sikap itu tadi diucapkan oleh bawahan, boleh jadi dia bermaksud menjilat atasannya.
Di hari kemerdekaan kedua tokoh itu bersalaman dan saling mengucapkan selamat. Tiba-tiba muncul tokoh lain, akademisi, pemikir, aktivis yang kritis. Dia bertanya: ”Apa betul kita sudah merdeka?” Geledek menyambar di siang bolong musim kemarau yang terik. Orang lain tidak mendengarnya selain sang pejabat negara, yang segera naik pitam. Matanya berkilat-kilat penuh kejengkelan dan rasa dengki.
Kalau di depannya ada seonggok jerami kering, pastilah jerami itu terbakar oleh kilat di matanya. ”Saudara ini bangsa Indonesia apa bukan?” katanya. Ini jelas bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. ”Menurut Bapak bagaimana?” ”Sebagai orang Indonesia saudara itu tidak tahu diri,” sang pejabat negara memuntahkan kemarahannya. Tokoh PDIP itu seorang wartawan senior, yang tiba-tiba merasa memperoleh hiburan pada saat kita sedang merayakan hari kemerdekaan kita.
Tokoh ini tersenyum gembira melihat kedua orang itu bersitegang. ”Saya bertanya dengan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan,” jawab sang akademisi dan aktivis itu. ”Tanyalah pada sahabat kita ini,” sang pejabat menoleh ke arah tokoh PDIP di sebelahnya.
”Kepada dia saya tak perlu bertanya karena saya tahu bahwa bagi para tokoh PDIP teriak merdeka itu artinya bukan merdeka sebagaimana Anda maksudkan. Bagi orang seperti Anda, kata merdeka, atau teriak merdeka artinya merdeka sebagai kata keadaan. Bagi Anda merdeka ya merdeka. Apa yang Anda sebut kemerdekaan itu sesuatu yang sudah jadi, dan tak perlu dipertanyakan kembali.” ”Apa Anda kira bagi tokoh PDIP ini bukan begitu pula keadaannya?” sang pejabat makin marah.
”Lain. Jelas lain. Bagi dia kemerdekaan itu kata kerja. Dia berteriak merdeka bukan karena kita sungguh-sungguh sudah merdeka. Teriakannya berarti sebuah ajakan, agar kita terus bekerja, tak henti-hentinya, menciptakan kemerdekaan.” ”Apa lagi yang mau diciptakan, ketika kemerdekaan sudah di tangan?” sang pejabat makin menyerang.
”Menurut Anda, apa makna kata Bung Karno, ketika setiap kali pejuang bangsa ini menyatakan bahwa revolusi belum selesai?” Pejabat negara itu terdiam. Dia bingung. Itu bagus sekali karena seorang penerus Orde Baru yang memutlakkan apa yang tak mutlak tiba-tiba masih bisa merasa bingung. Sementara itu, tokoh PDIP tadi sungguh merasa tersanjung. Dia heran, kok ada orang yang bukan PDIP tapi tahu tentang PDIP sebaik ini.
***
Kini kita hidup di zaman kemerdekaan, kalau kita mau percaya bahwa relasi-relasi kekuasaan global yang penuh eksploitasi dan ancaman seperti ini bisa dianggap tatanan hidup manusia dan bangsa merdeka. Cengkeraman global abad ini memang tampil dalam wajah yang kelihatan serbaagung; penuh tawaran kesetaraan, keadilan, serbademokratis, dan hormat setinggi-tingginya pada hak-hak asasi manusia.
Sekarang, dunia sudah memiliki nabi-nabi, dan rasul-rasul baru yang berkhotbah tentang segenap kemuliaan dan keagungan manusia. Mereka mengajari kita cara-cara membangun peradaban yang nyaris sempurna, bahkan lebih sempurna dari ajaran nabi-nabi dan rasul-rasul masa lalu yang tak lagi kita dengar suaranya. Apakah ini tanda kemerdekaan jiwa manusia dan suatu bangsa? Apakah teriak ”merdeka” berarti merdeka sebagaimana arti kata itu sendiri?
Bagi orang yang terlatih memutlakkan apa yang tak mutlak, pertanyaan ini haram untuk hadir di depan matanya. Ungkapan patriotik, ”revolusi belum selesai” baginya tak punya makna apa pun. Sebaliknya, bagi orang-orang yang menjalankan ajaran ”iqra ”, dia menganggap ungkapan ”revolusi belum selesai” menjadi makin relevan, makin menggugah semangat membela kepentingan bangsanya yang dicaplok buaya besar yang mulutnya menganga siang malam.
Di sekolah, seperti kita semua tahu, ada lagu Hari Merdeka (17 Agustus 1945) , yang dihafal luar kepala oleh setiap murid. Tapi Dr Anas Saidi dari LIPI mempunyai humor menyegarkan. Dia bilang, di suatu sekolahadaanakyangmenyanyidi depan kelas. Lagunya menyimpang dari kelaziman: ”16 Agustus tahun empat lima”.
Gurunya menoleh kaget dan membetulkannya. Tapi anak itu terus menyanyi lagi dengan caranya. Tapi guru itu orang bijaksana. Dibiarkannyamuridnyamenyanyi dengan pembukaan ”16 Agustus tahun empat lima. Besoknya hari kemerdekaan kita.” Sang guru dan murid-murid lain tertawa semua. Ini lelucon terbaik di dalam kelas, hasil sebuah kemerdekaan berkreasi.
Hanya manusia yang merdeka sejati yang berani berkreasi. Kalau segala persoalan sudah mutlak, kreasi tak diperlukan lagi. Kebebasan berkreasi malah dianggap ancaman dan subversi yang wajib dihabisi seperti disebut di atas. Guru ini mungkin memang tipe manusia merdeka semerdeka- merdekanya.
Sang murid kelak akan sebijaksana gurunya. Dia tak bakal memutlakkan apa yang nisbi, dan tak bakal menyucikan apa yang kotor, najis, dan penuh dosa seperti mentalitas Orde Baru. Ketika dia menyanyi besoknya hari kemerdekaan kita, baik untuk dicatat di sini bahwa merdeka baru akan terjadi besok, bukan sekarang. Jadi, hari ini baginya belum merdeka. Saya tidak tahu dari mana sumbernya sumber lagu kreatif ini.
Dr Anas Saidi hanya menceritakan kembali humor tersebut. Tapi kita tahu, humor tidak pernah berhenti hanya pada humor. Di balik humor ada kandungan serius dan mendasar. Merdeka yang baru akan terjadi besok itu apa bedanya dengan ungkapan serius seorang pejuang patriotik sejati: ”revolusi belum selesai?” []
Koran SINDO, 19 Agustus 2015
Mohamad Sobary | Budayawan
EmoticonEmoticon