Melihat laporan ini, Pemerintah Saudi buru-buru membuat lembaga
baru Pusat Pemberantasan Atheisme (Markaz li Mukafahah Ilhad) di
Universitas Islam Madinah, namun pada awal tahun 2015 justeru publik Saudi
dikejutkan dengan adanya Perkumpulan Para Atheis Makkah(Multaqa Mulhidin
Makkah). Laporan ini juga dilengkapi sebuah foto yang menunjukkan tulisan di
atas secaik kertas putih “Proud to be Atheist” (Bangga menjadi Atheis)” yang di
belakang kertas tampak Ka’bah dan Masjidil Haram. Angka atheis di Saudi berkisar
145-260 ribu orang dan lebih banyak daripada negeri-negeri yang disebut
“sekular” seperti Tunisia, Libanon, Mesir dan Turki.
Mengapa dukungan terhadap terorisme dan atheisme meningkat di
Saudi Arabia?
Dukungan terhadap ISIS dan atheis adalah dua fenomena yang
bertolak belakang namun semakin menguat di Negeri Saudi Arabia saat ini.
Menurut laporan al-Hayat (21 Juli 2014), media massa milik Saudi, dalam sebuah survei oleh As-Sakinah
terhadap media-media sosial di Saudi menunjukkan 92% responden berpendapat
“ISIS sesuai dengan nilai-nilai dan syariat Islam”. Demikian pula dalam survei
yang dilakukan oleh Brooking Institute terhadap twitter, pada tahun 2015
dukungan kicauan (twit) yang mendukung ISIS mayoritas berasal dari Saudi
Arabia. Hal ini menunjukkan dukungan terhadap radikalisme dan terorisme semakin
menguat di Saudi, khususnya dari kalangan muda, kelas menengah dan terpelajar
yang akrab dengan media sosial.
Namun atheisme juga menguat di Saudi bahkan tertinggi di
negeri-negeri yang penduduknya mayoritas Islam berdasarkan polling dari
WIN-Gallup International di Zurich Swiss, 27 Juli 2012 yang memberikan laporan
seluruh penduduk dunia mengaku religius (59%), tidak religius (23%) dan atheis
(13%). Atheis di Saudi (5%) sama dengan Amerika Serikat, Maldiv, Polandia, di
atas India (3%) dan Pakistan, Libanon, Uzbekistan, Turki (masing-masing 2%),
Nigeria (1%). Sedangkan untuk tingkat negara yang “religius” Saudi hanya 75%,
di bawah Nigeria (93%), Iraq (88%), Pakistan (84%), Afghanistan (83%) dan
Malaysia (81%).
Melihat laporan ini, Pemerintah Saudi buru-buru membuat lembaga
baru Pusat Pemberantasan Atheisme (Markaz li
Mukafahah Ilhad) di Universitas Islam Madinah, namun pada awal tahun 2015
justeru publik Saudi dikejutkan dengan adanya Perkumpulan Para Atheis Makkah(Multaqa Mulhidin Makkah). Laporan ini juga dilengkapi
sebuah foto yang menunjukkan tulisan di atas secaik kertas putih “Proud to be
Atheist” (Bangga menjadi Atheis)” yang di belakang kertas tampak Ka’bah dan
Masjidil Haram. Angka atheis di Saudi berkisar 145-260 ribu orang dan lebih
banyak daripada negeri-negeri yang disebut “sekular” seperti Tunisia, Libanon,
Mesir dan Turki.
Mengapa dukungan terhadap terorisme dan atheisme meningkat di
Saudi Arabia? Inilah pertanyaan yang menjadi tema diskusi dalam tahun-tahun
terakhir ini di media-media Arab, yang rata-rata memberikan jawaban pada satu
masalah: fenomena ekstrimisme dalam pemikiran keagamaan (al-ghuluww fil fikr al-dini) yang berasal dari ideologi
Wahabi. Bagaimana satu ideologi bisa menghasilkan dua hal yang bertentangan?
Penjelasannya adalah, pihak yang mengamini ideologi Wahabi akan ekstrim,
berhaluan garis keras, bersimpati hingga menjadi aktor terorisme. Sedangkan
pihak yang menolak, atau menjadi korban ideologi garis keras ini akan melawan
dengan bentuk ekstrim yang lain, menjadi atheis.
Tahun 2004, Syaikh Hasan bin Farhan al-Maliki seorang penulis dan
pemikir di Riyadh, Saudi Arabia, menulis kitab Qira’aah fi Kitabit Tauhid(Pembacaan Ulang terhadap Kitab
Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah catatan kritis terhadap ideologi
Wahabi. Bagi dia, kitab Muhammad bin Abd Wahhab yang sangat tipis itu (hanya
122 halaman dan 65 bab) namun menyebabkan meningkatnya ekstrimisme (al-ghuluww) dan pengkafiran di Arab Saudi
karena dipakai sebagai buku ajar di sekolah-sekolah.
Menurut Syaikh Hasan saat Muhammad bin Abd Wahhab menulis tentang
syirik zaman Nabi merupakan kebenaran, namun yang tidak benar ketika
kemusyrikan dituduhkan kepada orang Islam di zamannya. Menurutnya pula,
Muhammad bin Abd Wahhab sangat pandai menyarikan ayat-ayat tentang mencegah
syirik, namun sayangnya ia banyak lupa soal larangan membunuh manusia yang
tidak bersalah. Sehingga saat itu Wahabi banyak membunuh orang Islam bahkan ketika
mereka shalat di dalam masjid. Sayangnya pada tahun 2014, Syaikh Hasan bin
Farhan pernah diinterogasi dan dijebloskan ke penjara, karena kritik-kritiknya
terhadap pemikiran Ibn Taimiyah dan Muhammad bin Abd Wahhab. Ia dilepas setelah
protes dari dunia internasional, khususnya organisasi HAM di Jenewa.
Sebelum dia, ada tokoh Wahabi yang menjadi atheis, bernama
Abdullah Al-Qashimi (1907-1996) yang lahir Buraidah, di Saudi Arabia menulis
kitab Ats-Tsaurah al-Wahabiyah (Revolusi Wahabi) yang
memuj-muji ideologi Wahabi dan keberhasilan Dinasti Saudi. Namun akhirnya
Abdullah Al-Qashimi menjadi seorang atheis, tinggal dan wafat di Cairo, Mesir.
Tokoh salafi lain yang menjadi atheis adalah Ahmad Husein
al-Harqan dari Mesir yang pernah menjadi murid Syaikh Ahmad Al-Burhami, seorang
tokoh salafi dan wakil pemimpin tertinggi Partai Nur, Salafi di Iskandaria,
Mesir. Ahmad yang pernah menjadi imam di masjid salafi, pada tahun 2014
mendeklarasikan sebagai atheis karena kecewa dengan kekerasan dan pandangan
sempit ideologi salafi di Mesir. Setelah sebelumnya dia dan istrinya menjadi
korban kekerasan itu.
Tokoh lain, Ayaan Hirsi Ali, kelahiran Mongadisu Somalia yang
hidup di tengah keluarga salafi wahabi dan menerima kekerasan, baik saat pindah
ke Saudi Arabia, Etiopia dan Kenya. Ia pun akhirnya pindah ke Belanda dan
terakhir di Amerika Serikat. Karena ia hanya mengenal Islam ala Wahabi dan
menerima kekerasan yang bertubi-tubi dari kelompok ini, ia sangat kecewa dan
keluar dari Islam, hingga sekarang aktif menulis buku-buku yang menyerang
Islam.
Inilah dua fenomena yang berolak belakang sebagai dampak dari
ideologi Wahabi, bersimpati dan bisa ikut ISIS, atau menjadi atheis. Oleh
karena itu, kehadiran dan terjemahan buku KH Muhammad Faqih Maskumabang ini
sangat penting. Buku ini setelah 93 tahun “hilang” terbit tahun 1922 di Mesir,
sebelum NU berdiri, menjadi buku penting dalam menolak paham Wahabi. Buku yang
ditahqiq dan diterjemahkan dengan sangat baik oleh KH Aziz Masyhuri ini
mengenalkan pada kita tentang sekelumit pandangan dan tokoh-tokoh Wahabi.
Pengantar dari KH Maimoen Zubair juga sangat penting, selain memberikan riwayat
hidup KH Muhammad Faqih juga menekankan sikap tenggang rasa dan saling
menghormati antara KH Muhammad Faqih dan KH Hasyim Asy’ari yang berbeda pendapat
tentang pemakaian “kentongan” dan “bedug”. (bersambung)
Mohamad Guntur Romli (Alumnus Pondok
Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura dan Universitas Al-Azhar, Cairo,
Mesir)
Tulisan ini berasal dari makalah
dalam acara Bedah Buku “Menolak Wahabi” karya KH Muhammad Faqih Maskumambang,
penerbit: Sahifa, Agustus 2015 di Institut Agama Islam Bani Fattah (IAIBAFA),
PP Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Minggu, 2 Agustus 2015 dalam rangkaian
Muktamar NU ke-33 1-5 Agustus 2015 di Jombang, Jawa Timur. Tulisan ini dimuat
sudah memperoleh izin dari penulisnya.
EmoticonEmoticon