Oleh: Hasibullah Satrawi
... bila kelompok radikal masih eksis bahkan terus berkembang dan beranak-pinak seperti sekarang, sejatinya kedua ormas terbesar tersebut melakukan evaluasi dan refleksi gerakan secara mendalam, khususnya terkait dengan strategi menghadapi radikalisme.
Sebagai ormas keislaman terbesar di Indonesia (bahkan di dunia), keberadaan dan posisi NU dan Muhammadiyah yang berkeindonesiaan telah menjadi benteng bagi NKRI, khususnya dari ancaman radikalisme yang belakangan semakin liar, baik radikalisme yang bercorak teroristis ataupun radikalisme yang bercorak anarkistis. Sederhananya ialah bangsa ini tak perlu kalap dan bersikap secara tidak proporsional dalam menghadapi pelbagai macam ancaman radikalisme selama masih ada NU dan Muhammadiyah yang turut berkontribusi bagi kemerdekaan dan senantiasa menjaga keutuhan serta keberlangsungan NKRI sampai hari ini.
Dikatakan demikian karena dengan keberadaan kelompok moderat raksasa seperti NU dan Muhammadiyah yang senantiasa membela NKRI, sesungguhnya kelompok radikal hanyalah bagian dari masyarakat yang sangat kecil. Hal itu tentu tidak dimaksudkan untuk meremehkan keberadaan dan ancaman dari kelompok radikal. Sebaliknya, penegasan ini dimaksudkan untuk memotret secara utuh dan faktual terkait dengan gambaran ancaman radikalisme yang ada, hingga semua pihak bisa mengambil langkah proporsional dalam menghadapi ancaman radikalisme.
Persoalannya ialah keberadaan kelompok-kelompok moderat seperti NU dan Muhammadiyah sebagai modal besar bagi NKRI selama ini kurang diperankan dan diposisikan secara lebih efektif oleh pemerintah, khususnya dalam menghadapi ancaman radikalisme.
Benar bahwa dua kelompok moderat tersebut selama ini sudah bahkan sering dilibatkan dalam program-program yang bersifat antiradikalisme dan terorisme. Namun, ibarat senjata pamungkas, dua kelompok moderat tersebut tidak digunakan secara tepat dan di tempat yang tepat untuk menghadapi ancaman radikalisme, sesuai dengan peran, posisi, dan proporsi mereka.
Sebagai contoh, sejauh ini tidak sedikit dari tokoh moderat bahkan ulama dan kaum cerdik cendekia yang dilibatkan dalam bentuk pertemuan langsung dengan orang-orang radikal. Harapannya ialah tokoh-tokoh moderat tersebut bisa mengembalikan orang-orang radikal ke jalan yang damai dan kembali ke pangkuan NKRI.
Persoalannya, kelompok radikal acap tidak mengakui kealiman atau ketokohan seseorang di luar kelompok mereka. Bagi mereka, yang dianggap tokoh dan alim ialah mereka yang juga berpaham radikal. Sebaliknya, tokoh-tokoh lain di luar kelompok mereka acap tidak dianggap kecuali dengan pelbagai macam label negatif, seperti ulama su' (ulama buruk) dan kaum munafik.
Dalam konteks seperti ini, bisa dipahami bila pelibatan tokoh-tokoh moderat dalam upaya mengembalikan orang-orang radikal ke jalan damai masih jauh panggang dari api. Hal ini bukan disebabkan kealiman atau keilmuan mereka yang kurang mumpuni, melainkan lebih karena penggunaan yang salah tempat atas 'senjata pamungkas' yang ada.
Dalam hemat penulis, sejatinya pelibatan kelompok moderat beserta sejumlah tokohnya digunakan di 'dunia mereka'. Dengan kata lain, melalui tokoh-tokohnya, kelompok moderat sejatinya terus didorong untuk menjaga soliditas umat dengan visi kebangsaan yang ada, hingga tidak ada dari anggota kelompok moderat yang menyeberang ke kelompok radikal. Walaupun tidak secara langsung, langkah itu sangat strategis dalam menghadapi ancaman radikalisme.
NU dan Muhammadiyah melaksanakan hajatan terbesar pada waktu yang hampir bersamaan, yaitu Muktamar ke-33 bagi NU yang bertempat di Jombang (1-5/8) dan Muktamar ke-47 bagi Muhammadiyah yang bertempat di Makassar (3-7/8). Tema yang diangkat kedua ormas penjaga NKRI itu pun tak ubahnya pinang dibelah dua, yaitu Islam Nusantara bagi NU dan Indonesia Berkemajuan bagi Muhammadiyah.
Bila ditarik ke dalam persoalan radikalisme mutakhir yang dihadapi bangsa ini, kedua tema tersebut menghadapi persoalan dan tantangan yang kurang lebih sama, yaitu keberadaan kelompok radikal yang senantiasa berjuang untuk bisa masuk ke 'jubah' kebesaran kedua ormas tersebut. Islam Nusantara yang diperjuangkan NU melalui muktamar sekarang, contohnya, akan bahkan telah berhadap-hadapan dengan kelompok radikal yang memahami Islam secara ketat dan kaku, hingga Islam sebagai agama universal nyaris kehilangan kelenturan dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan aneka macam budaya di dunia ini khususnya budaya Nusantara.
Pun demikian, Indonesia Berkemajuan yang diperjuangkan Muhammadiyah melalui muktamar tahun ini bahkan telah berhadap-hadapan dengan kelompok radikal yang acap memahami Islam secara ketat dan kaku, hingga Islam sebagai agama global nyaris kehilangan spirit kemajuan dan kemodernannya. Alih-alih membangun Indonesia Berkemajuan, kelompok radikal senantiasa berorientasi ke belakang bahkan bercita-cita mengubah NKRI menjadi Negara Islam Indonesia (NII).
Hal yang harus diperhatikan kedua peserta muktamar itu ialah kelompok radikal (setidaknya untuk sebagian) bukanlah 'anak baru lahir'. Dalam sejarah kemerdekaan, pikiran-pikiran yang mencita-citakan Indonesia menjadi negara agama telah tumbuh pada masa-masa awal kemerdekaan walaupun kelompoknya sangat kecil (khususnya bila dibandingkan dengan NU dan Muhammadiyah).
Karena itu, bila kelompok radikal masih eksis bahkan terus berkembang dan beranak-pinak seperti sekarang, sejatinya kedua ormas terbesar tersebut melakukan evaluasi dan refleksi gerakan secara mendalam, khususnya terkait dengan strategi menghadapi radikalisme. Hampir bisa dipastikan, tidak mungkin kelompok radikal bisa terus bertahan dan bertambah besar bila tidak ada jemaah dari kelompok-kelompok lain yang bersifat lebih besar yang menyeberang.
Muktamar merupakan momentum yang sangat strategis untuk melakukan evaluasi dan refleksi gerakan secara mendalam, hingga bisa dirumuskan suatu strategi yang lebih kontekstual untuk menghadapi radikalisme sebagai tantangan bagi Islam Nusantara dan upaya mewujudkan Indonesia Berkemajuan. Yaitu, sebuah strategi yang sesuai dengan peran dan porsi kedua ormas terbesar itu. Setidak-tidaknya ialah strategi untuk memperkuat soliditas internal kedua ormas itu dengan visi kebangsaan mereka sehingga tidak ada yang menyeberang ke kelompok radikal. Selamat bermuktamar. []
MEDIA INDONESIA, 05 Agustus 2015
Hasibullah Satrawi | Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam, Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)
__._,_.___
EmoticonEmoticon