Saturday, August 15, 2015

Imam Syafii: Santri yang Tak Menyerah pada Keadaan

Cacat fisik sejak lahir tidak membuat Imam Syafii putus asa. Dari tanah Sumatera, ia mengarungi samudera intelektual di Pondok Pesantren Lirboyo-- salah satu pesantren yang bertahan dengan sistem pendidikan klasikal.
Santri Cacat
Imam Syafii saat mengikuti pelajaran di kelas (foto: Kabar Kedir)
Mengenakan peci hitam, bersarung dan baju kemeja dengan sajadah tersampir di pundaknya, ia melompat-lompat menyusuri gang di sela-sela kamar santri di Pondok Pesantren Lirboyo – Kota Kediri. Sesekali tangan kanannya yang tumbuh tidak sempurna yang hanya memiliki dua jari seperti japit kepiting meraih tembok untuk menjaga keseimbangan. Ia hanya bertumpu pada satu kaki, karena kaki kirinya buntung hingga pangkal paha. Sementara tangan kirinya kecil dan buntung diatas siku. Tujuannya tidak jauh, ke kantin pesantren untuk makan siang.
foto: Kabar Kedir

Saat pertama kali tiba di Pondok Lirboyo pada 2008 lalu, ia masih berusia 18 tahun. Harusnya dengan usia seperti itu, dalam ukuran pendidikan formal seharusnya sudah memasuki bangku perkuliahan. Namun di Lirboyo, semua diberlakukan sama, tidak memandang usia. Imam Syafii yang ingin memperdalam agama islam harus belajar mulai dari bawah dalam madrasah sekelas Ibtidaiyah (SD-red).
foto: Kabar Kedir
“Saya ingin menjadi guru agama di kampung, orang tua saya akan bangga jika saya bisa lulus mondok dari Lirboyo,” katanya suatu ketika saat kami berbincang di dalam kamar, bersama teman-temannya. “Lazimnya orang cacat seperti saya lebih mudah jadi pengemis, saya tidak ingin mencari uang dengan menjadi pengemis,” katanya dengan mata menerawang.
Ia tidak ingin menjelaskan dengan detail soal dari mana asal usulnya, baginya kondisi fisiknya bukan untuk mencari belas kasihan dari orang lain. Di dalam kelas ia juga berlaku sama seperti rekan-rekan santri lainnya yang normal. Ia tetap menulis dengan tangannya sendiri, meskipun tak jarang ada teman yang merasa kasihan dan dengan suka rela membantu. Baginya, ilmu yang didapatkannya dengan kerja keras akan menjadi berkah untuk kehidupannya kelak. “Kebahagiaan saya adalah membuat orang tua bangga, saya tidak ingin orang tua menyesali keadaan saya. Semua sudah takdir Allah,” katanya. (Arief Priyono)

Sumber : Kabar Kediri


EmoticonEmoticon